post image
KOMENTAR
INDONESIA adalah negara unik, setiap masa pemerintahan memiliki sejarah tersendiri dalam ketatanegaraannya terutama dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif.

Bernard Schwartz, seorang pakar hukum tata negara Inggris mengatakan kedudukan presiden sebagai “the most powerfull elective position in the world”. Terutama di Indonesia dimana kekuasaan dan tanggungjawab terpusat pada Presiden (concentration of powers and reponsibilities upon the President).

Diawali dengan pemerintahan awal era Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang terlihat sedang mencari model pemerintahan yang tepat sehingga menimbulkan dinamika ketatanegaraan yang sangat dinamis. Perubahan sistem pemerintahan, konstitusi dan perombakan kabinet yang terjadi lebih dari satu dua kali menghiasi ketatanegaraan Indonesia pada masa ini. Kekuatan eksekutif sangat dominan hingga parlemen pun bisa dibubarkan dengan sebuah dekrit yang terkesan dipaksakan. Deadlock menjadi kata kunci pembubaran ini karena konstituante dianggap tidak dapat menyelesaikan tugas sebagaimana mestinya. Terlepas dari gonjang ganjing kebenaran konstituante yang tidak memberikan kepuasan terhadap Sokarno, dekrit yang menjadi sejarah dianutnya sistem presidensil di Indonesia ini akhirnya dikeluarkan sebagai senjata melegalkan kebijaksanaan yang tidak bijak tersebut.

Beralih pada masa reformasi, pun kejadian yang sama melanda negara yang akhirnya memilih jalan demokrasi sebagai perubahan arah biduk perjalanan kenegaraan Indonesia. Pemilihan Presiden dilaksanakan dengan mekanisme pemilihan lewat MPR sebagai lembaga negara tertinggi dahulunya sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945. Era kepemimpinan Presiden Soeharto misalkan berakhir dengan people power di mana setelah menjabat selama 32 tahun tidak tergantikan dimasa Orde Baru berganti di masa reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat untuk menjadikan Indonesia yang demokratis dan sejahtera.

Pada 21 Mei 1998, terjadilah peristiwa yang dinantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai seorang presiden dan menyerahkan jabatannya kepada BJ. Habibie. Proses pengunduran diri ini berlangsung cepat dan menandakan berakhirnya kekuasaan diktator Soeharto dan menjadi awal sejarah baru dari demokrasi di Indonesia. Meskipun lagi-lagi Presiden menunjukkan kekuatan yang dimiliki dengan serta merta menyerahkan jabatan presiden kepada BJ Habibie tanpa melewati mekanisme MPR. Padahal seharusnya Soeharto menyerahkan mandat yang telah diberikan MPR kepadanya baru kemudian MPR yang menunjuk pengganti karena kedaulatan berada di tangan MPR berdasarkan Pasal  2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

Sejarah unik lainya terlihat pada masa Gus Dur dimana pemilihan dan pemberhentiannya merupakan dua proses yang saling melengkapi. Pada saat itu Megawati dicalonkan menjadi Presiden dengan dukungan PDIP sebagai pemenang pemilu legislatif. Sementara ada kekhawatiran dari partai-partai lain terhadap kepemimpinan Megawati yang akan dipengaruhi oleh asing. Maka, poros tengah menjadi sebutan gerakan yang diinisiasi oleh Amien Rais selaku Ketua Partai Amanat Nasional (PAN). Poros tengah pun menjadi sebuah sejarah yang mungkin akan berulang, tapi dengan tipe yang berbeda. Kebaikan hati para pemimpin partai yang tergabung dalam poros tengah untuk memajukan Gus Dur sebagai presiden untuk menjadi tandem Megawati ternyata berbuah pahit. Gus dur dicalonkan dengan maksud agar memperlihatkan kepemimpinan yang memihak rakyat namun tegas dengan kebijakan yang tetap pada jalur legal dan tidak memihak asing. Seiring perjalanan waktu, Gus Dur pun pada kenyataannya tidak memenuhi keinginan poros tengah bahkan mengeluarkan banyak kebijakan yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Impeachment pun tak dapat dihindarkan, parlemen bahkan dikomandoi oleh poros tengah untuk melakukan proses ini yang akhirnya memberhentikan Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Sekarang, Jokowi mengalami hal yang hampir serupa. Kemenangan PDIP sebagai partai pengusungnya di pemilu legislatif ternyata tidak menjamin kemenangan di parlemen itu sendiri. kekhawatiran justru hadir karena adanya sekelompok partai yang oposisi, berbeda dengan Gus Dur yang memerintah dengan tidak ada partai oposisi karena semua partai mendapat kursi meskipun tidak menjamin juga keberlangsungan dari pemerintahan tersebut.

Kondisi timpang pada masa Jokowi ini adalah hal yang sudah dipredisksikan terjadi dalam pemilihan presiden secara langsung di negara dengan multipartai. Partai pemenang pemilu presiden belum tentu menjadi partai yang memimpin parlemen sehingga presiden yang mewakili partai pemenang pemilu harus berhadapan dengan parlemen yang dikuasai oleh partai oposisi.

Salahnya adalah kondisi ini bisa jadi menimbulkan ketidaksinkronan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parlemen bisa saja selalu menolak dan tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden yang berakibat pada tidak berlakunya sebuah undang-undang atau kebijakan pemerintah. Parlemen akan menjadi musuh dalam selimut bagi Presiden. Pasal 7C Undang-Undang Dasar Republik Indonesia setelah perubahan keempat menegaskan bahwa Indonesia sekarang sudah menganut sistem presidensil dimana pasal tersebut menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Artinya, seberapa jelek dan tidak berkualitasnya parlemen, atau atas perbedaan arah yang dimiliki oleh presiden maupun parlemen, Presiden tidak dapat serta merta membubarkan parlemen tersebut.

Meskipun demikian, dalam sejarahnya terlihat bahwa Indonesia pernah mengalami masa dimana parlemen memberhentikan Presiden  dan begitu juga sebaliknya Presiden membubarkan parlemen. Realitasnya, keberadaan partai oposisi di parlemen tentunya sangat membuat khawatir PDIP. Untuk kurun waktu sejak terpilihnya Jokowi saja hingga saat ini belum dilantik, DPR sudah membuat adrenalin pemerintah naik dengan lolosnya pilkada tidak langsung. Apalagi lima tahun pemerintahan yang akan berjalan, bagaimana bisa sinkron antara pemerintah dan parlemen? Tentunya, hal ini bisa jadi membuat Jokowi dan tim nya memutar otak untuk dapat menjalankan pemerintahan dengan tenang tanpa ada “gangguan” dari oposisi. Bisa jadi sejarah berulang, Jokowi dengan kekuasaan dan kekuatannya membubarkan parlemen dengan alasan kebijakan yang terus dibalas dengan ketidak sepakatan. Secara konstitusi tentu tidak sah, tapi bukan tidak mungkin Presiden menggunakan hak prerogratif lainnya dalam mengambil kebijakan demi kepentingan penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan.[***]


Ryan Muthiara Wasthi
Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini