post image
KOMENTAR
Presiden terpilih Joko Widodo disarankan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal pemerintahannya. Untuk mengatasi masalah defisit anggaran, ada banyak jalan yang bisa ditempuh Jokowi selain dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.

"Kalau solusinya menaikkan harga, semua orang juga bisa. Ada cara lain yang lebih baik yang nilai tambahnya lebih besar. Caranya adalah membuat BBM rakyat," kata ekonom senior DR. Rizal Ramli ketika menjadi pembicara dalam Saresehan Indonesia "Siap Sambut Presiden RI ke-7, Perbaiki Tata Kelola Migas, Tolak Kenaikan BBM," di Universitas Riau, Pekanbaru (Sabtu, 11/10).

BBM rakyat yang dimaksud Rizal Ramli adalah BBM yang beroktan 80-83. BBM bersubsidi yang sekarang beredar di masyarakat oktannya atau tingkat pembakarannya mencapai 88 sehingga wajar saja mobil-mobil kalangan menengah ke atas berani membeli BBM bersubsidi untuk kendaraan-kendaraan mereka. Dengan mengurangi oktan tersebut, kalangan menengah ke atas tidak akan berani menggunakannya karena akan membuat mesin kendaraan mereka ngelitik alias knocking. Namun demikian, tak perlu khawatir, BBM jenis ini masih bisa digunakan untuk kendaraan kalangan menengah ke bawah yang jumlahnya hampir 90 juta pengguna.

"Sekarang premium oktanya 88-90, terlalu terlalu boros dan terlalu merwah. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat general gasoline atau bensin umum oktannya hanya 86. Mobil mewah pakai oktan 80 dan 83 mesin akan ngegelitik, lama-lama mesinnya rusak. Tetapi untuk 83 juta pengendara motor, 3 juta angkot dan sebagian nelayan, memakai bensin ini tidak ada masalah," papar Menteri Perekonomian era Pemerintahan Abdurrahman Wahid ini.

Di sisi yang lain, saran Rizal Ramli lagi, BBM jenis pertamax (BBM super) perlu dinaikkan. Dari harga pertamax saat ini Rp 11.000 per liter bisa dinaikkan sebesar Rp 2500 menjadi Rp 13.5000, atau kalau perlu dinaikkan hingga Rp 14.000 per liternya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2013, harga keekonomian BBM Rp 8.400 per liter. Ini artinya pemerintah harus mensubsidi Rp 1.900 per liter. Tapi dari hasil penjualan BBM Super, pemerintah untung Rp 4.100 liter. Dari simulasi ini, pemerintah memang harus mensubsidi BBM Rakyat sebesar 27,5 juta kilo liter yang jika dikali Rp 1.900 tiap liternya berarti sebesar Rp 52,25 triliun. Namun pada saat yang sama, pemerintah meraih laba dari penjualan BBM Super sebesar Rp 92,25 triliun dari kebutuhan 22,5 juta kilo liter BBM Super dikali keuntungan per liter sebesar Rp 4.100.

"Jadi ada prinsip subsidi silang," imbuh Rizal Ramli dalam saresahan yang juga menghadirkan Direktur IRES Marwan Batubara dan praktisi migas Agung Marsudi Suanto sebagai pembicara ini.

Selain itu, kata tokoh yang gigih mengusung ekonomi konstitusi ini, Jokowi harus menghentikan praktik mafioso dalam tata kelola minyak nasional. Menurut dia, subsidi di sektor minyak sangat tinggi karena adanya mafia migas. Setiap tahun mereka untung hampir 10 miliar dolar AS atau setara Rp 100 triliun dari sektor ini. Dari impor minyak mentah rata-rata para mafia mengeruk keuntungan 3 dolar AS, dan bahkan mereka bisa memperoleh keutungan bisa lebih besar dari impor minyak jadi.

"Jadi menurut saya sikat dulu mafia migas," tegas dia dalam acara yang diikuti sekitar 500 an mahasiswa ini.

Selain itu, kata penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa ini, masih ada dua cara yang bisa dilakukan Jokowi, yakni membangun kilang minyak di dalam negeri dan melakukan revaluasi BUMN. Jika kita punya kilang dengan kapasitas 3 kali 200 ribu barel per hari, maka biaya produksi BBM bisa ditekan hingga setengahnya.

Selama ini, kata dia, BUMN kita belum pernah direvalusi aset. Padahal dari 130-an BUMN jika diperintahkan semua melakukan revaluasi aset, maka aset BUMN akan naik 2-3 kali dari aset awal. Jika sisa dari selisih revaluasi kita masukan modal maka modal BUMN kita bisa naik sekitar Rp 450 triliun hingga Rp900 triliun. Kalau modal BUMN sudah bertambah maka bisa minjam lagi sehingga borrowing capacitnya, bisa nambah di atas 100 miliar dolar AS atau setara Rp 1000 triliun.

"Kalau ini dilakukan kita bisa bangun apa saja, tanpa perlu meminjam modal  asing. Inilah 'raksasa' yang tidak pernah kita lakukan," tandasnya.[rgu/rmol]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini