post image
KOMENTAR
LBH Trisila Sumatera Utara (Sumut) mengajukan uji formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ditandatangani dan didaftarkan oleh Advokat Hasan Lumban Raja SH, Leonardo Silitonga SH MH, Tigor Gultom SH MH pada Kamis (9/10/2014) yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor: 1331/PAN.MK/X/2014.

Direktur LBH Trisila Sumut Hasan Lumban Raja di Medan, Sabtu (11/10/2014) menjelaskan, pemberi kuasa dalam pengajuan gugatan ada sembilan orang yaitu T Yamli, Kusbianto SH MHum (dosen), Samulya Surya Indra SP (aktivis LSM), Harun Nuh (calon Bupati Deli Serdang dari perseorangan), Hengkie Yusuf Wau SH MHum (dosen), Basar Siahaan, Kemalawati SE SH (aktivis perempuan), Leonardo Marbun S.Sos (aktivis nelayan) dan Fahrul Hali Saputra (aktivis).

Gugatan yang diajukan hanya mengenai pengujian formil UU 22/2014 dan tidak menyentuh substansi (materi) UU 22/2014 karena substansi UU 22/2014 sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan penerbitan Perppu 1/2014.

Adapun dasar pengajuan gugatan yaitu proses pengesahan UU 22/2014 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap UU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: "Indonesia adalah Negara Hukum".

Kemudian syarat adanya persetujuan bersama terhadap UU sebelum disahkan oleh presiden tidak terpenuhi karena tiga alasan. Pertama, keputusan persetujuan DPR dalam rapat Tanggal 26 September 2014 tidak memenuhi persyaratan kuorum keputusan DPR yang harus disetujui lebih dari setengah Anggota DPR yang hadir.

Kedua, presiden tidak setuju dengan UU 22/2014. Sikap ketidaksetujuan tersebut disampaikan dalam berbagai kesempatan kepada publik, dan diwujudkan dengan penerbitan Perppu No 1 Tahun 2014 yang pada Pasal 205 menyatakan tidak berlaku dan mencabut UU 22/2014.

Ketiga, perbuatan mengesahkan UU dan mencabutnya sesaat kemudian merupakan permainan kekuasaan (political atraction) semata dan bertentangan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menentukan Indonesia sebagai negara hukum dan Pasal 4 ayat (1) yang menentukan presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD.

Apabila presiden tidak setuju dengan UU 22/2014 maka seyogiyanya presiden tidak mengajukan UU tersebut ke DPR dan tidak mengesahkannya. Warga negara tidak semestinya diperlihatkan permainan kekuasaan dalam pembentukan UU, karena hak atas kepastian hukum dalam proses pembentukan UU dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Masih menurut Hasan, perbuatan mengesahkan UU 22/2014 dan sesaat kemudian mencabutnya melalui Perppu No 1/2014 mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kekosongan hukum.

Kota Medan, Kota Binjai beserta beberapa kabupaten/kota lainnya di Sumut yang seyogiyanya sudah memulai tahapan pilkada tertunda. Keadaan ini merugikan hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum dalam penyelanggaraan pemerintahan daerah di Sumut.

Apalagi KPU telah menindaklanjuti UU 22/2014 dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 1600/KPU/X/2014 Tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya meminta penundaan tahapan pilkda yang sedang dan akan dijalankan. "Walaupun pencabutan UU 22/2014 diisi dengan Perppu No 1 Tahun 2014, hal ini belum menjadi kepastian hukum karena perppu harus diuji oleh DPR yang keputusannya dapat menolak atau menyetujui," tegas Hasan.

Walaupun sudah dicabut melalui Perppu 1 Tahun 2014, UU 22/2014 masih dapat diajukan uji formil karena beberapa hal. Pertama, seketika diundangkan. UU 22/2014 menimbulkan akibat hukum yaitu mencabut UU 32/2004. Kedua, pencabutan UU 22/2014 hanya meliputi substansinya saja, dimana formil UU 22/2014 dan akibat hukumnya tetap berlaku (mengikat) dan dapat dijadikan dasar penerbitan Perppu 22/2014.

Ketiga, apabila Perppu tidak disetujui DPR maka UU 22/2014 otomatis berlaku berikut akibat hukumnya yaitu pencabutan UU 32/2004. Keempat, adanya batasan waktu 45 hari untuk ajukan pengujian formil UU, dimana apabila pengujian formil diajukan setelah adanya keputusan DPR menolak perppu maka dipastikan pengujian formil sudah kadaluarsa, sehingga UU 22/2014 yang cacat formil tidak dapat dipersoalkan lagi secara formil pembentukannya.

"Apabila MK menyatakan UU 22/2014 tidak sah secara formil pembentukannya, maka UU tersebut batal sedari awal pengesahannya, yang akibat hukumnya Perppu No 1 Tahun 2014 menjadi tidak mengikat pula dan UU 32/2004 kembali berlaku," pungkas Hasan.[rgu]

LPM dan FKM USU Gelar Edukasi Kesahatan dan Pemberian Paket Covid 19

Sebelumnya

Akhyar: Pagi Tadi Satu Orang Meninggal Lagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel