Paripurna yang dilakukan oleh DPR RI yang berakhir dengan penetapan Bendahara Umum Partai Golkar, Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI mendapat banyak kritikan dari masyarakat. Salah satu penyebabnya yakni banyaknya pemeriksaan oleh KPK terhadap yang bersangkutan dalam pemeriksaan kasus dugaan korupsi.
"Segitu banyak pemeriksaan di KPK, bisa jadi dia itu memang banyak terlibat korupsi," kata Fahrudin Pohan, warga Polonia, Medan, Jum'at (3/10/2014)
Berdasarkan catatan, Anggota dewan asal dapil Nusa Tenggara Timur II ini, tercatat beberapa kali dipanggil oleh KPK dan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi.
Setya beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau. Kasus ini menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga politikus Partai Golkar. Bahkan, KPK juga pernah menggeledah ruangan Setya di lantai 12, Nusantara I DPR, terkait penyidikan kasus yang sama.
Selanjutnya, dugaan keterlibatan Setya dan anggota DPR Kahar Muzakir dalam kasus PON Riau terungkap melalui kesaksian mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, Lukman Abbas, di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Riau. Ketika itu, Lukman mengaku menyerahkan uang 1.050.000 dollar AS (sekitar Rp 9 miliar) kepada Kahar, anggota Komisi X DPR dari Partai Golkar. Penyerahan uang merupakan langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN Rp 290 miliar.
Saat itu, Lukman mengungkapkan, awal Februari 2012, dia menemani Rusli Zainal untuk mengajukan proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai Rp 290 miliar. Proposal itu disampaikan Rusli kepada Setya yang juga Ketua Fraksi Partai Golkar ketika itu, dengan tujuan untuk memuluskan langkah itu, harus disediakan dana 1.050.000 dollar AS. Soal pertemuan di ruangannya tersebut pernah diakui Setya. Namun, kata Setya, pertemuan itu bukan membicarakan masalah PON, melainkan acara di DPP Partai Golkar.
Setya Novanto juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Kasus ini menjerat mantan Ketua MK, Akil Mochtar, yang juga mantan politikus Partai Golkar.
Buktinya, pada 24 April lalu, Setya bersaksi dalam persidangan kasus Akil bersama dengan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Dalam persidangan itu terungkap adanya pesan BlackBerry (BBM) antara Akil dan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa Zainuddin Amali. Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil kepada Zainuddin.
"Ya cepatlah, pusing saya menghadapi Sekjenmu itu, kita dikibulin melulu aja. Katanya yang biayai Nov sama Nirwan B? menurut sekjenmu, krna (karena) ada kepentingan bisnis disana. Jd (jadi) sama aku kecil2 aja, wah.. gak mau saya saya bilang besok atw (atau) lusa saya batalin tuh hasil pilkada Jatim. Emangnya aku anggota fpg (Fraksi Golkar di DPR)?" demikian bunyi pesan BBM yang dikirimkan Akil yang diperlihatkan Jaksa KPK sebagai barang bukti dalam persidangan.
Menurut transkrip BBM yang diperoleh jaksa KPK, Akil juga merasa dibohongi oleh Idrus karena awalnya bersedia menyiapkan dana melalui Setya Novanto dan Nirwan B. Sayangnya, sebelum kesepakatan tersebut tidak terlaksana, penyidik KPK menangkap Akil bersama dengan politisi Golkar lain, Chariun Nisa, bersama pengusaha Cornelis Nalau yang datang ke rumah dinas Akil untuk mengantarkan uang suap terkait Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Saat dikonfirmasi mengenai pesan BBM ini dalam persidangan, Setya maupun Idrus membantah adanya permintaan uang dari Akil. Setya mengaku telah melarang Zainuddin mengurus masalah Pilkada Jatim. Dia juga mengakui bahwa hubungan Akil dengan Golkar tidak baik karena banyak perkara sengketa pilkada di MK yang tidak dimenangi Golkar.
Terkait Kasus E-KTP
Lagi-lagi nama Setya Novanto juga disebut-sebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebut Setya dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Setya juga disebut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. Terkait proyek e-KTP, Setya membantah terlibat, apalagi membagi-bagikan fee. Dia mengaku tidak tahu-menahu soal proyek e-KTP.
Terkait pengadaan e-KTP, KPK telah menetapkan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka. Namun, hingga saat ini, KPK tidak pernah memeriksa Setya Novanto sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Sugiharto.[rgu]
KOMENTAR ANDA