RMOL. Segelintir kalangan yang berteriak tentang "kematian demokrasi dan hak rakyat yang terberangus oleh sistem baru pilkada" adalah elemen nasionalis palsu. Mereka ini adalah kaki tangan korporatokrat yang sejak lama ingin Indonesia bubar. Atau, kalau pun Indonesia tidak bubar, mereka ingin mendompleng setiap rezim untuk dapatkan keuntungan.
Demikian disampaikan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, dalam kultwitnya akhir pekan lalu.
Ketika dihubungi redaksi, Teguh mengatakan twitnya itu untuk mengingatkan semua pihak agar berhati-hati sehingga perdebatan mengenai sistem pilkada tidak bergerak ke arah yang merugikan kepentingan nasional.
“Saya tidak akan menyebutkan secara detil pihak mana yang saya maksudkan. Tetapi mereka pasti merasa,” ujar Teguh.
Menurut pria kelahiran Medan ini, kaum nasionalis palsu selalu punya dalil dalam mendukung kekuasaan rezim yang mereka inginkan sebagai boneka, dan sebaliknya, juga selalu punya dalil untuk menumbangkan rezim boneka itu.
“Nasionalis palsu ini canggih, berbicara dgn bahasa dewa, khas kaum cendekia tukang. Kecerdasan yang memukau. Tetapi mematikan,” antara lain twit Teguh sambil menambahkan bahwa pandangan-pandangan mereka mampu meyakinkan khalayak yang merasa bahwa kehidupan yang sebenarnya ada dunia maya.
Ciri lain dari kaum nasionalis palsu ini, sambung Teguh yang juga mengajar di London School of Public Relations (LSPR) Jakarta ini adalah selal membicarakan persoalan cabang dan ranting, dan mengelak dari pembicaraan atas hal-hal fundamental yang sudah merusak pondasi bangsa.
“Mereka tak pernah menyinggung kerusakan sistem ekonomi nasional akibat amandemen pasal 33 UUD 1945. Lihat ayat 4 yang ditambahkan. Ayat itu memperkenalkan prinsip demokrasi ekonomi yang tampak indah, tapi itulah yang membuat harga-harga semakin melambung tinggi dan negara tak punya kemampuan bahkan tak tak punya hak untuk melindungi rakyat,” ujarnya lagi.
Neoliberalisme dan kapitalisme ugal-ugalan, sambungnya, masuk lewat ayat itu. Sementara ayat 1,2,3 pasal 33 UUD 1945 yang sering disebut sebagai sifat dari sistem ekonomi nasional Indonesia kini tak punya arti lagi.
Dia juga menyebut aturan di UU PMA 2007 yang memberikan hak kepada walikota/bupati untuk membuat deal langsung dengan investor asing.
“Nasionalis palsu tak pernah bicara soal UU PMA itu. Sederhana: karena mereka dan kaum korporatorat yang membesarkan mereka untung besar!”
Pada bagian akhir, Teguh juga mengingatkan agar perdebatan tentang sistem pilkada itu tidak membuahkan keributan.
“Keributam diantara kita hanya akan menguntungkan kaum korporatokrat yang sejak lama membutuhkan perpecahan kita sebagai pintu masuk untuk kehancuran Indonesia,” demikian Teguh. [zul]
KOMENTAR ANDA