Kabinet pemerintahan presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dimungkinkan terbentuk atas dasar transaksional.
Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menjabarkan, ada tiga indikasi kuat yang melandaskan Jokowi melakukan hal tersebut.
"Ada indikasi kuat dia susun kabinet transaksional. Susunan yang digodok di belakang panggung politik. 18 sampai 16 pembagian porsi menteri masyarakat tidak dilibatkan, hal sama akan jadi pada siapa yang duduk di sana. Ketika dilakukan panggung belakang maka terjadi politik transaksional," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Membaca Arah Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK, Kabinet Trisakti atau Transaksi?' di Galeri Cafe, Cikini, Jakarta (Minggu, 28/9).
Menurut Emrus, seharusnya Jokowi bisa memunculkan figur calon menteri yang akan dipilihnya ke muka publik. Dengan begitu, semua masyarakat bisa berwacana dan berpartisipasi.
"Misal diumumkan saya jadi menteri, maka masyarakat bisa melihat pantas atau tidak," katanya.
Indikasi kedua, adanya pemilihan kepala daerah lewat DPRD setelah pengesahan RUU Pilkada yang makin menyudutkan Jokowi. Sebab, partai-partai yang mendukung mekanisme tersebut mempunyai posisi tawar lebih tinggi.
"Sekarang Jokowi-JK yang butuh partai-partai di Koalisi Merah Putih, 80 Persen di daerah dikuasai mereka. Ketika pilkada tidak langsung digolkan maka menguatkan nilai tawar ke Jokowi," ungkap Emrus.
Terakhir adalah adanya interest group atau kelompok kepentingan yang berada di balik Jokowi. Di mana, kelompok ini mendanai kampanye Jokowi dan pasti meminta timbal balik yang harus diberikan.
"Dalam politik ada interest group yang membiayai kampanye, mereka istilahnya
no
free Lunch," ujarnya.
Emrus memastikan, apabila Jokowi mewujudkan kabinet transaksional, maka pemerintahan gubernur DKI Jakarta itu tidak berbeda dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
"Transaksi atau Trisakti ya itu pilihan Jokowi. Kalau transaksional, maka Jokowi tak beda dengan SBY," tandasnya.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA