post image
KOMENTAR
Setiap pukul 10 pagi, para pengelola newsroom atau ruang redaksi televisi hatinya berdegub kencang. Mereka menanti khabar dari perolehan rating dan share programnya. Jika programnya mendapat rating dan share yang naik, hari ini mereka bisa makan siang dengan enak. Namun jika rating dan sharenya rendah, atau turun dari hari sebelumnya. Mereka langsung panas dingin!

Begitu pentingnya rating dan share ini bagi awak redaksi televisi, sehingga  membuat penilaian kuantitatif yang dilakukan oleh lembaga survey pemasaran Nielsen ini seolah-olah menjadi “agama baru” jurnalis yang bekerja di industri televisi. Survey pemasaran rating dan share adalah segala-galanya, bersifat dogmatis, tak terbantahkan, dan berlaku tak terkecuali program berita dari karya intelektual jurnalitik.

Tanpa diragukan, produksi media televisi merespon perkembangan sosial budaya dan politik juga mempengaruhi perkembangan masyarakatnya. Televisi mempengaruhi bagaimana kita berpikir dan merespon pada dunia. Sementara media non televisi bekerja dalam berbagai cara untuk segmen masyarakat yang berbeda-beda, media televisi memiliki previlage untuk masuk ke semua segment tanpa bisa ditolak.

Dalam penelitiannya mengenai budaya populer, Marshall McLuhan menyebutkan bahwa televisi mempengarui penonton terlepas dari apa yang disampaikan. Ketika media berubah, demikian pula cara kita berpikir kita, cara kita mengatur informasi, dan berhubungan dengan orang lain. Ada perbedaan yang tajam antara media lisan, tulisan dan elektronik tentang bagaimana pengaruhnya terhadap pemirsanya.

Dalam konteks budaya popular yang sudah terbentuk sebagai budaya instans, dimana proses pencarian informasi bukan lagi hal yang sulit maka komunikasi lisan sangat fleksibel dan mudah di-organize. Banyak yang menyebutkan penonton televisi kita adalah penerima apa adanya, “ora opo-opo” menerima informasi yang disajikan tanpa peduli berita itu benar atau tidak. Sisa budaya lisan itu, membuat berita televisi sangat cepat diterima sebagai sumber informasi terpercaya, walau bersifat sementara. Sehingga individu dan kelompok harus menyimpan informasi dalam pikiran mereka untuk kemudian diceritakan kembali kepada kelompoknya untuk memperoleh konfirmasi.

Kompetisi pengelola televisi, bukan lagi terbatas pada program drama dan non drama tapi sudah merambah ke program berita. Dari sudut pandang jurnalis, kontestasi penyajian karya jurnalis sebenarnya bukan pada bagaimana  berita itu mampu menyedot perhatian pemirsa, namun bagaimana berita dikemas dengan hukum universalitas yaitu significan, magnitude, actual, proximity dan prominence, tanpa mengorbankan kode etik jurnalistik.

Sementara, tuntutan kompetisi membuat berita bukan sekedar penyampaian informasi dengan memperhatikan hukum universatilitas seperti di atas tadi, tapi ditambah unsur hiburan visual menjadi informasi yang cepat dengan gambar-gambar yang dramatis, wow, menakjubkan, mengaduk emosi penonton, bahkan informasi yang masih kontroversial.

Informasi dari media televisi, sudah beranjak dari pemahaman semula dari sekedar menyampaikan ide, informasi dan gagasan menjadi saluran yang harus mengikuti standar layak tayang stasiun swasta. Artinya, sebuah program televisi ditekan untuk mampu dijual ke pengiklan layaknya komoditas program dandutan atau lucu-lucuan. Domain ini, tak bisa dilepaskan ketika filosofi pengelola televisi swasta adalah kapitalisasi.

Pertimbangan ekonomi ini, yang diikuti persaingan sengit antarmedia, menjadikan jajaran redaksi  news  televisi harus mengubah orientasinya pada tekanan pasar yang disebut rating dan share. Saya yakin, jurnalis televisi merasakan tekanan yang besar untuk menjadikan rating dan share sebagai output hasil karya intelektualnya.  Oleh karena itu, berbagai cara “kreatif”digunakan untuk mendongkrak rating dan share itu.

Layaknya karya jurnalistik, berita sebenarnya hanya menyampaikan fakta dan data dari berbagai peristiwa dan pendapat yang terjadi. Mengikuti hukum besi kode etik jurnalistik,  program berita televisi “tidak boleh” dicampur opini dan “digoreng” dengan efek visual editing untuk menghasilkan karya yang penuh hiburan, memanjakan visual namun sedikit informasi yang layak untuk publik.

Kreatifitas  jurnalis televisi, terutama jajaran newsroom, tetap berpatokan kepada kode etik dan standar penyiaran yang berlaku. Jika peristiwa itu sama dan hampir diliput oleh stasiun televisi yang lain, lantas apanya yang menarik lagi?  Yang sering disiasati adalah kemasan produk berita itu agar kelihatan eksklusif dan disiarkan langsung dari lokasi atau sering disebut Live Report. Pola siaran langsung di tengah-tengah acara lainnya, seharusnya dilabeli sebagai penyampaikan informasi yang sangat-sangat penting, punya kepentingan public yang lebih luas, berdampak bagi hajat hidup orang banyak, bukan sekedar liputan yang berlebihan (hyper coverage).

Apa menariknya Live Report beberapa kali dari lokasi penggusuran pertokoan di Jalan Jatinegara, Jakarta Timur untuk program normalisasi Sungai Ciliwung  dibandingkan Live Report setiap jam setelah KPK menetapkan Menteri ESDM Jeri Wacik menjadi tersangkat korupsi? Keduanya menghabiskan slot time yang banyak dan sumber daya produksi yang tidak sedikit.

Liputan yang berlebihan itu, memang bagian dari perubahan besar struktur narasi penyampaian berita di televisi. Berita bukan lagi untuk merangkai peristiwa-peristiwa, tapi sudah ke arah menyajikan berita secara terus menerus. Penting dan layak berita itu, tergantung sudut pandang siapa yang berkepentingan dibelakangnya, bukan untuk kepentingan public yang lebih luas.

Mengutip jurnalis kawakan James Fallows dalam bukunya “Breaking the News”,  ada beberapa hal yang sering dilupakan jurnalis televisi.  Pertama yaitu perspektif. Pentingnya perspektif dalam berita adalah membantu pemirsa untuk menilai apakah pesan yang disampaikan cukup penting dan mendesak untuk disikapi. Ataukah pesan di media itu hanya biasa saja.

Kedua, media seharusnya menempatkan peristiwa yang mereka beritakan dalam konteks sejarah. Selayaknya sejarah yang selalu berulang, sebagian besar peristiwa yang terjadi memiliki akar sejarahnya sendiri. Dengan memandang peristiwa kekinian melalui kacamata sejarah, media diharapkan mampu memberikan pencerahan atas apa yang terjadi di masa lalu dan menawarkan apa yang mungkin bisa terjadi. Jika media gagal menempatkan konteks historis suatu peristiwa, sangat mungkin berita media justru menyesatkan pemirsa.

Ketiga yang dibutuhkan dalam memberitakan peristiwa adalah perbandingan situasi. Dalam artian berita seharusnya menunjukkan persamaan dan perbedaan dari peristiwa-peristiwa. Dengan begitu membantu pemirsa untuk bisa mencermati pola atau hubungan penting antarperistiwa yang muncul di media, bukan hanya kontestasi isu yang muncul silih berganti di layar televisi.

Produk jurnalistik adalah memberi informasi yang berguna bagi kehidupan manusia yang lebih baik, bukan sekedar pamer kemampuan teknik live report dari pinggir jalan raya. [***]

Hendrata Yudha
Pengurus Pusat IJTI
Fellowship Eka Tjipta Foundation di Pasca Sarjana Univ Mercu Buana

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini