BIAYA pengadaan komponen bensin kendaraan bermotor HOMC (High Octane Motor gasoline Component) yang diimpor untuk memproduksi bensin beroktan tinggi dianggap terlalu tinggi. Adanya kebijakan langit biru (polusi udara), pada tanggal 24 Mei 1990 Pertamina hanya memproduksi dan memasarkan satu macam bensin saja, yaitu bensin yang dinamai Premium dengan angka Oktan 88.
Harga jual disubsidi oleh pemerintah. Dinamakan premium karena mutunya lebih tinggi dari bensin yang telah dipasarkan sebelumnya.
Kebijakan sebelum 24 Mei 1990 untuk kendaraan bermotor Pertamina memproduksi dua macam bensin yaitu, pertama bensin dengan angka Oktan 83, diproduksi dan dipasarkan bersubsidi pemerintah, dan kedua, bensin super 98 (dengan angka Oktan 98) dipasarkan tanpa subsidi.
Keputusan tersebut didasarkan atas pertimbangan keekonomian dalam operasi pengolahan/pengadaan BBM. Untuk memproduksi bensin Super 98 ON diperlukan HOMC (High Octane Motor gasoline Component) yang cukup banyak dan mahal. Produksi Pertamina saat itu belum mencukupi dan juga masih diperlukan penambahan aditive T.E.L (Tetra Ethyl Lead) yang sangat ber racun. Bahan sisa pembakaran yang keluar dari knalpot mobilpun dapat menyebabkan polusi udara.
Atas dasar keputusan pemerintah tersebut maka terhitung mulai tanggal 25 Mei 1990 produksi dan pemasaran bensin Super 98 oleh Pertamina dihentikan.
Keputusan Presiden
No
. 20 tanggal 24/05/1990 tentang harga jual BBM sudah tidak mencantumkan harga bensin Super 98 ON.
Untuk mengantisipasi konsumen yang memerlukan bensin dengan Oktan yang lebih tinggi (mobil dengan mesin yang perbandingan kompresinya tinggi/high compression ratio di atas 9), Dirjen Migas memberikan izin kepada perusahaan swasta nasional untuk memproduksi dan memasarkan bensin dengan angka Oktan 92 yang diberi nama/merek dagang Premix atau Premium Mixture berdasarkan Keputusan Dirjen Migas No. 21K/72/DDJM/1990.
Perusahaan swasta nasional yang diberi izin oleh Mentri Pertambangan dan Energi untuk memasarkan PREMIX ada lima Perusahaan Penyalur Premix (P3P) yaitu PT Panutan Selaras, PT Humpuss, PT Sinar Pedoman Abadi, PT Giga Intrax, dan PT Elnusa anak perusahaan Pertamina.
Harga jual Premix ditentukan oleh mereka sendiri sesuai harga pasaran (tidak ditentukan oleh pemerintah). Pengusaha dapat mengambil keuntungan secara wajar.
Untuk menjaga stabilitas harga jual Premix, Menteri Pertambangan dan Energi telah mengeluarkan surat No.4075/55/M.DJM/90 yang isinya menunjuk PT Elnusa sebagai price leader penjualan Premix.
Para pengusaha Premix diharuskan memiliki atau menyediakan, fasilitas produksi atau Blending Plant atau Pencampuran sendiri, juga fasilitas Depot Penimbunan BBM sendiri, pompa bensin/SPBU.
Para pengusaha Premix diperbolehkan membeli Premium 88 dari Pertamina kemudian menambahkan HOMC (High Octane Motor Gasolin Component) yang dibeli dari Pertamina bilamana ada, atau mengimpor sendiri untuk memproduksi Premix 92 ON di Blending Plant miliknya sendiri. Baru setelah itu menjualnya di SPBU yang mereka bangun.
Tentu saja hal ini memerlukan modal yang sangat besar dan perencanaan yang matang untuk penyediaan keseluruhan. Waktu yang mendesak pun ternyata membuat perusahaan P3P tak sanggup melaksanakan kewajiban yang sudah ditentukan. Padahal produksi Super 98 sudah terlanjur dihentikan. Akhirnya diperintahkan agar Pertamina membantu para pengusaha Premix dan Premix diproduksi di berbagai depot Pertamina yang besar-besar.
Sesuai peta kebutuhan masyarakat akan bensin beroktan tinggi, dengan ekstra kerja keras saat itu produksi dan pemasaran Premix dapat dilaksanakan melalui depot dan SPBU Pertamina di lima daerah operasi pemasaran Pertamina, yakni Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, dan Surabaya, dengan merek mereka masing-masing.
SPBU Pertamina memakai logo kuda laut juga memuat merek Panutan Selaras, Humpuss, Sinar Pedoman Abadi, Giga Intraksi dan Elnusa.
Karena dalam perkembangan selanjutnya para konsumen Premix menganggap angka oktan 92 terlalu rendah, maka atas keputusan Dirjen Migas No. 26K/72/DDJM/1992, angka oktan Premix dinaikkan lagi menjadi 94 ON dan penjualannya berlanjut sampai masa reformasi.
Akhirnya Direksi Pertamina tak mampu lagi meneruskan kebijakan Premix yang ruwet sehingga diputuskan untuk menghentikan penjualannya dan dikembalikan seperti semula.
Pengusaha Premix dibubarkan dan Pertamina kembali memproduksi, memasarkan bensin Premium dengan angka Oktan 88, juga bensin dengan angka Oktan 93 dengan nama dagang Pertamax dan Pertamax plus (Oktan 95).
Ternyata ada yang terlupakan. Produksi dan pemasaran Preminum tidak dikembalikan seperti semula dengan diproduksi dan dipasarkan bensin Oktan 83, hingga yang ada di pasaran sekarang adalah Premium yang mutunya terlalu bagus.
Bahkan terbukti cukup bagus untuk mobil-mobil dengan perbandingan kompresi di atas 9 dan tetap disubsidi oleh Pemerintah yang memberatkan APBN dan menjadi ganjalan bagi kegiatan atau usaha lain yang penting bagi pertumbuhan bangsa dan negara.
Berikutnya saya hendak mengusulkan langkah-langkah yang bisa diambil pemerintahan yang baru dalam rangka mengatasi peningkatan subsidi BBM.
Prinsip dasarnya seperti pemasaran beras untuk rakyat miskin atau raskin.
Karena subsidi ditanggung pemerintah dan yang menerima uang subsidi adalah Pertamina, maka Pertamina sebaiknya memproduksi dan memasarkan bensin jenis baru yang diberi nama Premiun 83 ON atau nama lain, dengan spesifikasi yang sama dengan Premium yang sekarang ada di pasaran, kecuali angka Oktannya Max 83 ON.
Kemudian dipasarkan dengan harga lebih murah Rp 100 atau Rp 200 dari Premium yang sekarang ini beredar di pasaran.
Jadi pemerintah tidak menaikkan harga BBM tetapi justru menurunkan harga BBM.
Pemasaran Premium 88 ditiadakan.
Bensin Premium 83 memerlukan HOMC lebih sedikit jadi pengadaannya, sehingga untuk tetap disubsidi jatuhnya lebih murah. Karena mutunya lebih rendah dari Premium 88 diharapkan masyarakat pemilik mobil bagus yang selama ini menggunakan Premium 88 tidak mau membelinya.
Mereka diharapkan beralih dengan menggunakan Pertamax 92 ON atau Pertamax 95 ON, karena tak ingin mesin mobilnya terganggu.
Konsekwensinya? Sebagian masyarakat akan beralih membeli produk Shell atau Total Indonesia. Tidak masalah!
Bahkan impor HOMC oleh Pertamina atau Pemerintah malah akan berkurang. Mafia BBM akan kehilangan pasar, akibatnya pemakaian devisa untuk impor BBM juga turun.
Ada kemungkinan pemasaran Pertamina akan sedikit menurun tetapi demi kepentingan yang lebih besar tidaklah menjadi masalah karena subsidi BBM juga akan turun.
Penyelundupan Premium ke luar negeri juga akan berkurang karena bensin Premium 83 tidak akan laku dijual di Singapura, Malaysia atau Papua.
Untuk
solar
, prinsipnya sama dengan Premium. Angka Cetan solar dinaikkan, dan dijual di pinggiran kota atau di pelabuhan untuk para nelayan. Di kota dijual biosolar atau bio disel.
Indonesia adalah negara maritim. Mengapa Indonesia yang lautnya lebih luas dari daratan terlalu cemas tentang polusi udara?
Pengusaha taksi diwajibkan mempunyai SPBU sendiri di pool mereka dan di tempat khusus pelayanan bagi taksi, dioperasikan hanya oleh Pertamina. Dipasok sementara dengan bensin Premium 88 dengan harga tetap seperti sekarang (Rp 6.500) dinaikkan setapak demi setapak dalam tempo setahun harga kemudian tanpa subsidi.
Bagi mobil jenis angkot bensin Premium 83 tidak bermasalah. Pengusaha bengkel kecil mungkin akan tumbuh di daerah pinggiran.
Kalau kemudian masyarakat tetap menghendaki Premium 88 ya OK, harga tanpa subsidi dan tanpa untung (at cost). [***]
*Ir. R. I. J. Soetopo
Mantan Direktur Pembekalan Dalam Negeri di Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
KOMENTAR ANDA