Daftar pemilih yang diakui, dibenarkan, dan sah menurut UU Pilpres hanya ada satu, yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tidak ada satu norma pun dalam UU Pilpres, baik secara implisit apalagi eksplisit, yang memerintahkan kepada KPU untuk menyusun Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), Said Salauddin. Karena itu, berdasarkan argumen ini, ungkap Said, DPK dan DPKTB memang bermasalah. Dan ini baru satu argumen, dari enam argumen lainnya.
Argumen kedua, lanjut Said, beberapa saat lalu (Selasa, 19/8), kewenangan yang diberikan UU Pilpres kepada KPU untuk menyusun daftar pemilih bersifat restriktif, yaitu KPU hanya diberi wewenang untuk mengatur yang terkait dengan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan penetapan DPT. Hal ini tegas diatur dalam Pasal 29 ayat (6) UU Pilpres.
Argumen ketiga, DPK dan DPKTb bukanlah daftar pemilih yang dimaksud oleh Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, sebab syarat dan cara yang diatur oleh KPU tentang DPK dan DPKTb justru bertentangan dengan syarat dan cara yang diatur dalam putusan tersebut. Dalam Putusan itu tegas disebutkan bahwa hanya KTP dan Paspor yang diperbolehkan sebagai syarat bagi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS, tetapi KPU justru memperbolehkan Surat Keterangan domisili dari kepala desa atau lurah sebagai pengganti KTP.
"Padahal, dalam putusan tersebut Mahkamah telah menyatakan secara tegas bahwa KPU tidak boleh mengatur syarat administratif pengganti DPT. Syarat administratif lain yang menjadi alternatif DPT hanya bisa diatur oleh pembentuk UU dan MK, yaitu melalui amandemen UU Pilpres, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan Putusan MK. KPU tidak bisa membuat norma alternatif dari ketentuan UU. Peraturan KPU kedudukannya adalah dibawah UU dan mereka itu adalah pelaksana UU," ungkap Said.
Keempat, lanjut Said, syarat dan cara yang diatur untuk pemakaian KTP menurut Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 adalah dengan menyertakan Kartu Keluarga (KK), tetapi aturan itu justru diabaikan oleh KPU. KPU sama sekali tidak mensyaratkan adanya penyertaan KK bagi pemilih DPK dan DPKTb yang menggunakan KTP. Artinya, DPK dan DPKTb itu tidak memenuhi syarat dan cara yang diperintahkan oleh MK.
Kelima, secara sistem, DPK dan DPKTb tidak menciptakan kepastian hukum dan keadilan karena pemilih DPK dan DPKTb tidak tidak pernah dialokasikan surat suaranya. Mereka tidak mendapatkan jaminan surat suara. UU Pilpres hanya menjamin surat suara bagi pemilih DPT. Surat suara itu hanya dicetak sejumlah pemilih DPT, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (4).
"Keenam, DPK dan DPKTb seharusnya tidak perlu ada karena rakyat sebetulnya telah memberikan dana yang begitu besar dalam jumlah triliunan rupiah kepada Pemerintah dan KPU untuk menyusun data kependudukan dan DPT yang berkualitas. KPU tentu harus bertanggungjawab atas penggunaan uang rakyat itu. Besarnya anggaran untuk menyusun DPT harus setara dengan hasil kerja mereka menyusun DPT yang berkualitas," demikian Said.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA