post image
KOMENTAR

MEMBACA judul di atas, pasti ada pihak yang harus disalahkan di balik kata "kemunafikan". Tidak! Saya sedang merutuki diri, lingkungan, dan kantor sendiri. Jangan-jangan saya dan sekeliling saya sedang bermunafik ria di ruang-ruang libur panjang Lebaran.

Mengapa saya merasa kami munafik? Karena saya dan kawan-kawan di lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sukses menggalang kepedulian masyarakat seluruh Indonesia. Dukungan publik, berakibat panjang: website kami mengalami tingkat kunjungan luar biasa sampai susah diakses (untuk itu mohon maaf bagi yang tak kunjung berhasil mengakses website).

Media sosial ACT sangat dinamis dengan interaktivitas melebihi biasa. Sebagai ‘pelipur’ kehausan memutakhirkan informasi Palestina, komunitas donor ACT bisa membaca kiprah relawan ACT melalui media massa umum. Menurut laporan tim komunikasi ACT, pekan terakhir Juli 2014 (selama Ramadhan) total berita mengenai ACT di berbagai media massa (cetak, televisi dan online) ada 294 kali penayangan. Angka itu kalau dikonversi sebagai pemasukan, public relations value tak kurang dari sembilan miliar rupiah!

Mengapa saya dan kawan-kawan ACT saya ‘hakimi’ munafik? Karena kami terbawa arus konvensional libur Lebaran. Pasukan kemanusiaan ACT banyak yang mudik, berlibur di tengah keluarga dan nyaris ikut meliburkan perang melawan Israel dengan cara mengedukasi publik untuk tiada henti melantunkan doa, mengalirkan bantuan, menyuarakan kepedulian, mendorong dunia menghentikan kebiadaban Israel atas Palestina.

Di Palestina, warga Jalur Gaza boro-boro menikmati liburan apalagi menyantap hidangan hebat Lebaran, sedetik pun mereka tak lepas dari teror serangan Israel. Bahkan konon para pejuangnya ada yang merangsek di bawah tanah tiga hari tanpa makan apapun, untuk bisa memaksa tentara Israel menghentikan serangan dengan kejutan dari bawah tanah. Rumah sakit mereka penuh korban serangan rudal dan bom yang dijatuhkan dari drone Israel. Rakyat gaza tak kenal libur.

Di Indonesia? Semua kantor sepakat libur, ikut aturan pemerintah. Tanggal 26 Juli - 4 Agustus, menjadi libur resmi lebaran. Warga pemudik ‘tumpah’ memacetkan jalan, berpuluh jam, bahkan hingga berganti hari melebihi waktu tempuh perjalanan di hari-hari biasa. Rumah sakit kita penuh, bukan karena korban ‘perang; tapi rata-rata sakit perut akut. Bisa jadi, karena kelewat bersemangat menyantap ketupat lebaran.

Saya merefleksi, bagaimana surga menerima kita kalau kita kelewat hebat tenggelam dalam liburan kita, saat nestapa dunia terutama di Gaza, tak kenal libur? Bahkan Jomah al Najjar, eksekutif lembaga mitra ACT di Gaza, di hari Lebaran menyempatkan menelepon kami di Jakarta. Ia katakan, tinggal ini cara kami berkomunikasi, karena ketiadaan listrik benar-benar merata di Jalur Gaza. “Kami belum bisa kirim kabar lebih lengkap, komputer kami tak ada daya,” kata Jomah. Saatnya saya dan semua kawan-kawan di ACT yang mengaku peduli dan sudah menerima limpahan amanah: tak ada libur bagi ACT, saat situasi perang mencengkeram rakyat Palestina di Jalur Gaza.

Mereka berjihad dengan kesetiaannya menjaga di Gaza, sebagian lainnya menyabung nyawa mengamankan negeri dan tumpah darahnya menghadapi kekuatan militer canggih Israel, kita juga berjihad dengan komunikasi dan seruan kepedulian tanpa henti. Juga dengan bertaruh nyawa menunaikan bantuan kemanusiaan berupa gandum, daging, sandang dan obat-obatan. Kami merasa munafik, dalam dalam situasi krisis Gaza, masih enak-enakan berlibur.





Ahyudin



Presiden Aksi Cepat Tanggap

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini