Bariharyono adalah peternak lebah asal Sidamanik, salah satu kecamatan dekat konsesi HTI TobaPulp di sektor Aeknauli, Simalungun. Bersama 20 orang temannya dari Manik Uluan, kampung Bah Aren, Sidamanik, dan Bah Butong, ia mengikuti pelatihan beternak lebah yang digagas oleh TobaPulp (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) bekerjasama dengan BPPK Aeknauli. Pelatihnya, Am Hasanuddin.
Sebagai seorang yang lahir dan besar di perkampungan dekat hutan, Bariharyono dan teman-temannya bukannya tidak mengenal lebah yang bisa menggigit bila terdesak (terjepit), serta menghasilkan madu yang sangat berguna bagi kesehatan.
Penduduk kampung, lazim juga mendapatkan madu lebah dari sarang-sarang yang bergantungan di pohon-pohon tinggi. Madu lebah bersumber dari sari bunga yang ada di sekitarnya yang "diambil" dan "diangkut" pasukan lebah serta mengumpulkannya di sarang sebagai makanan anak-anak lebah.
Seekor ratu "mengatur" semua pergerakan ribuan ekor yang menjadi "rakyat"-nya.
Bariharyono salah seorang yang sangat tertarik dengan "dunia-lebah" dan ketika ada kesempatan mempelajarinya dari ahlinya, ia pun ikut serta dengan tekun.
Pelatih kemudian memperkenalkan habitat lebah sebagai makhluk yang sebenarnya baik dan bisa diatur.
"Dalam beternak lebah bisa dimulai dari pemeliharaannya di glodok, kayu yang bagian dalamnya sudah dilubangi untuk tempat bertelur dan menghasilkan anakan. Baru kemudian induk dan ribuan anak lebah dipindahkan ke dalam stup (kotak khusus pemeliharaan). "
"Apabila stup ditempatkan di kawasan yang di sekitarnya terdapat banyak bunga, maka "pasukan" lebah pasti mencari sari-nya, dan kemudian mengangkutnya ke stup-stup yang tersedia sebagai "istana" mereka. Kumpulan sari bunga itulah kemudian yang menjadi madu," ungkap Bariharyono, seperti keterangan yang diterima MedanBagus.Com, Jumat (11/4/2014).
Bariharyono menjelaskan ilmu yang didapatnya dari pelatih, yakni ada dua sumber bunga. Pertama, menanam pohon atau jenis tumbuhan yang bunganya banyak, dan kalau mungkin yang dapat berbunga sepanjang tahun seperti kaliandra.
Kedua, memindah-mindahkan stup berisi lebah itu dari satu kawasan ke kawasan lain yang secara bergiliran mengalami musim bunga. Ini, artinya "menggembalakan." Bariharyono tidak setengah-setengah menyerap dan kemudian mempraktekkan ilmu dan keterampilan dari pelatihan.
Ia mengadopsi kedua cara, menanam kaliandra dan juga "menggembalakan" lebah-nya.
"Kalau saya saat ini sudah punya 40 stup lebah madu, yang mana sebanyak 30 stup diantaranya dewasa ini sedang digembalakan di kawasan Serbelawan yang kaya tanaman perkebunan. Apalagi disana sedang musim bunga karet dan durian. Jika musim bunga Eukaliptus –tanaman pokok HTI TobaPulp—pada bulan November, tiba, stupnya dipindahkan ke sekitar konsesi TobaPulp di Aeknauli. Adapun yang 10 stup lagi ditempatkan secara permanen di sekitar Sidamanik, kampung halaman saya," katanya
Bariharyono menjelaskan dari setiap stup yang ia miliki, dimungkinkan menghasilkan rata-rata 0,8 liter madu setiap bulan. Maka, maka 20 stup menghasilkan 16 liter. Dengan harga per liter sekitar Rp200 ribu per liter maka nilai ktor-nya Rp3,2 juta, atau sekitar Rp2,5 juta bila dipotong biaya modal.
Bariharyono, yang oleh teman-temannya dipanggil par-ranggiting (bahasa Batak: peternak madu lebah), memilih menyebut penghasilan dari setengah stup miliknya.
Ayah 3 anak yang duduk di SMA ini memang dikenal rendah hati. Sebab, konon, salah satu syarat tak tertulis untuk bisa berhasil beternak lebah ialah ”sabar, berprilaku halus (lebah akan lari bila dikasari), jujur, dan rendah hati (tidak sombong).”
Salah satu hal yang paling dia anjurkan untuk pemelihara lebah ialah menjaga keaslian dan kualitas produk.
"Pasar madu lebah berkualitas selalu terbuka lebar. Saya sering kewalahan melayani permintaan," katanya. [ded]
KOMENTAR ANDA