Kelompok peneliti dari Kanto Gakuin University mengungkapkan, uang ternyata sudah menjadi alat yang digunakan oleh pihak militer Jepang untuk menutupi kasus perbudakan seks yang mereka lakukan selama Perang Dunia II di Bali. Hal ini diungkapkan berdasarkan penelitian dan penelaahan dokumen-dokumen penting di Arsip Nasional Jepang.
Dalam sebuah dokumen ditemukan fakta bahwa seorang kepala sersan mayor yang ditempatkan di Indonesia selama Perang Dunia II menyatakan kepada investigator dari Departemen Kehakiman, pada Agustus tahun 1962 bahwa ia membawa sekitar 70 wanita Indonesia untuk ditempatkan di rumah bordir militer dan dijadikan sebagai budak seks.
Kepala sersan mayor tersebut menjelaskan, saat itu, ia juga mengeluarkan uang sekitar 700 ribu Yen untuk menenangkan penduduk setempat. Pemberian uang kepada penduduk, jelas dia, berdasarkan dokumen, berjalan efektif karena tidak ada satu keluhan pun yang muncul terkait perbudakan seks yang terjadi di Bali.
Dokumen tersebut juga menjelaskan adanya pernyataan dari mantan perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang bahwa dia sangat khawatir bila keberadaan rumah bordil militer semasa perang tersebut terungkap. Temuan dokumen tersebut menegaskan adanya peran militer dalam perbudakan seks di tempat jajahan.
"Hal ini penting karena menegaskan peran militer yang disebutkan dalam pernyataan Kono," kata kepala penelitian yang juga merupakan profesor sejarah Jepang modern, Hirofumi Hayashi seperti dilansir Japan Times pada Senin (24/3/2014).
Pernyataan Kono merujuk pada permintaan maaf resmi atas perbudakan seks masa perang yang dikeluarkan pada tahun 1993 oleh Sekretaris Kabinet Yohei Kono. Dalam pernyataan tersebut, Kono mengakui adanya peran militer dalam memaksa perempuan setempat untuk melayani kebutuhan seksual tentara Jepang selama Perang Dunia II.
Dokumen tersebut dikumpulkan dari penyidikan Departemen Kehakiman demi mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan pengadilan kejahatan perang.[rmol/rgu]
KOMENTAR ANDA