Desa Pasirlangu di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, layak menjadi contoh bagi desa yang ada di negeri ini. Termasuk desa (nagori) yang ada di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Pasalnya, warga Desa Pasirlangu yang umumnya berprofesi sebagai petani, sebelum tahun 1996, sempat dikenal sebagai desa miskin di Jawa Barat (Jabar), dengan penghasilan (pendapatan) yang cukup rendah, dibanding pendapatan penduduk dari desa lainnya.
Kemiskinan itu dirasakan warga desa, ketika para petani disana, kebanyakan bercocok tanam labu siam dan sawi. Namun, sejak tanaman labu siam dan sawi ditinggalkan, lalu melakukan budi daya paprika, dalam waktu tidak begitu lama, warga Desa Pasirlangu-pun berhasil keluar dari jurang kemiskinan.
Awalnya, tak banyak petani yang berbudi daya paprika. Ditahun 1994, sejumlah kelompok tani (Koptan) Desa Pasirlangu, tertarik dengan konsep tanaman (pertanian) hydrophonik. Jenis tanaman yang mereka pilih-pun paprika.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, budi daya paprika dengan sistem tanam hydrophonik menunjukkan hasil yang signifikan. Keberhasilan itu, secara tidak langsung mempengaruhi tingkat pendapatan petani paprika di desa itu. Dalam tempo dua tahunan, tanda-tanda kemiskinan pun mulai hilang dari desa itu.
Lantas, untuk lebih meningkat sumber pendapatan maupun modal, para petani di sana membentuk koperasi yang diberi nama Suka Maju pada tahun 1999. Koperasi itu-pun tumbuh dengan pesat hingga saat ini.
Saat ini, Koperasi Suka Maju dipimpin Dindin Cepi Cahyadi, dengan jumlah anggota 90 petani.
Sejak koperasi berdiri, Desa Pasirlangu tak lagi menjadi desa miskin. Sejak saat itu, nyaris seluruh petani mulai bercocok tanam paprika. Malah saat ini, petani paprika Desa Pasirlangu bisa menegakkan kepalanya. Karena desa itu tercatat sebagai penghasil paprika terbesar di Indonesia.
Setiap harinya, dari sekitar luas lahan budi daya paprika sekira 50 hektar lebih, mampu menghasilkan paprika sebanyak 1 ton. Dengan harga jual di pasaran local sebesar Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu per kilogram.
Sedangkan untuk ekspor, harga paprika dari Pasirlangu masih dihargai cukup rendah, yakni, hanya Rp 13 ribu. Paprika diekspor ke Singapura. Meski Singapura selanjutnya mengekspor paprika itu hingga ke Korea, Jepang dan negara lainnya.
Menurut Dindin Cepi Cahyadi, 80 persen produksi paprika Pasirlangu di pasarkan di dalam negeri. Sedangkan yang diekspor hanya 20 persen.
Konsep budi daya dengan sistem hydrophonik, dari setiap batang tanaman, mampu menghasilkan 3 kilogram paprika. Atau setara dengan sekitar 18 buah paprika.
Tanaman paprika nyaris setiap harinya dapat dipanen. Dengan masa pengolahan lahan hingga masa panen selama 4 bulan. Sedangkan biaya produksi satu batang tanaman paprika diperkirakan Rp 20 ribu.
Keberhasilan Desa Pasirlangu sebagai penghasil paprika terbesar di negeri ini, tidak terlepas dari peran Bank Indonesia (BI). Terutama Kantor Perwakilan (KPW) BI Wilayah VI Jawa Barat–Banten yang berkantor di Bandung.
Koperasi Suka Maju menjalin kerja sama dengan BI sejak tahun 2007 yang lalu. Dengan kerjasama itu, Koperasi Suka Maju mendapatkan sejumlah bantuan berbentuk fasilitas dan edukasi budi daya paprika.
Selain itu, BI juga membantu petani paprika untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank. Untuk Koperasi Suka Maju, Bank Tabungan Negara (BTN), salah satu bank yang memberikan bantuan pinjaman modal.
Topografi Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat dengan sejumlah nagori (desa) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, memiliki kemiripan. Seperti daerahnya yang berlembah, dengan udara yang sejuk. [ded]
KOMENTAR ANDA