Bendahara RSUD Gunung Tua, Hendry Hamonangan Daulay, dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) di RSUD Gunung Tua, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) yang didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp5,4 miliar lebih, akhirnya diadili di Pengadilan Negeri Tipikor Medan, Kamis (23/1/2014).
Sidang perdana ini diakukan setelah sempat ditunda karena terdakwa sakit. Terdakwa didampingi penasehat hukumnya, Ibrahim Hasibuan sebelumnya mengaku menderita sakit lambung.
Dalam dakwaan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) diketuai Hendri Edison SH menyebutkan, pada tahun 2012 RSUD Gunung Tua mendapatkan alokasi dana dari P-BDB (Perubahan Bantuan Daerah Bawahan) Provsu dan P-APBD Provinsi tahun 2012 untuk pengadaan alat kesehatan di RSUD Gunung Tua, Paluta, sebesar Rp10 miliar.
Atas hal itu, terdakwa Naga Bakti Harahap diangkat sebagai pejabat Pengguna Anggaran (PA), dan mengumumkan pelelangan proyek pengadaan Alkes itu. Selanjutnya Rahmad Taufik Hasibuan, diangkat sebagai PPK bertugas membuat penetapan Harga Perkiraan Sementara (HPS).
Namun ternyata HPS itu bukan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Rahmad. Melainkan, HPS itu dibuat dan disusun oleh Ridwan Winata pemilik PT Magnum Global Mandiri (MGM) selaku rekanan.
Terdakwa Naga Bakti, Rahmad Taufik dan Henry Hamonangan ternyata sepakat mengatur strategi dan memenangkan Ridwan Winata dalam pengadaan alat kesehatan kedokteran umum pada RSUD Gunung Tua tersebut.
Ridwan Winata juga diketahui menjanjikan kepada Naga Bakti, Hendry Hamonangan dan Rahmad akan mendapatkan Fee dari Mark-up pengadaan alat kedokteran umum itu.
Dalam pelelangan ada 10 perusahaan yang mendaftar, namun yang mengajukan penawaran hanya empat rekanan yakni PT Winatindo Bratasena, PT Aditya Wiguna Kencana, PT Tiara Donya dan CV Anugerah Bestari.
Ternyata keempat perusahaan dengan direktur yang berbeda-beda itu merupakan milik/dikendalikan oleh Ridwan Winata, sehingga kondisi ini menyebabkan tidak terjadi persaingan yang sehat pada proses lelang pengadaan alat kesehatan itu.
Dari empat perusahaan itu, panitia menetapkan PT Aditya Wiguna Kencana pemenang tender dan PT Winatindo Bratasena sebagai pemenang cadangan.
Direktur PT Aditya Wiguna Kencana yakni Rizkyvan L Tobing, ternyata merupakan direktur bentukan Ridwan Winata.
Jaksa menilai, selain telah dimonopoli oleh Ridwan, penetapan pemenang tender ini juga harus dibatalkan karena tidak ada satupun peserta lelang yang memasukkan persyaratan memenuhi persyaratan.
Terdapat enam item alat kedokteran yang ditawarkan oleh PT Aditya Wiguna Kencana tidak mendapat dukungan dari distributor atau agen tunggal pabrikan alatnya.
Setelah diperiksa, alkes yang diserahkan oleh PT Aditya Wiguna Kencana ternyata harganya jauh lebih mahal daripada harga nyatanya (real cost).
Menurut jaksa, harga alkes itu telah digelembungkan cukup tinggi dari harga sebenarnya yang hanya Rp2.980.609.478. Berdasarkan audit BPKP Sumut, dalam kasus ini negara dirugikan Rp5.463.790.522.
Setelah menerima pembayaran dan kelebihan harga yang diterima, Ridwan Winata kemudian membagi-bagikan uang kepada dr Naga Bakti sebanyak Rp400 juta, Rahmad Taufik Hasibuan sebesar Rp70 juta, Andar Harahap Rp620 juta, dan Henry Hamonangan Daulay Rp89 juta.
Akibat perbuatannya, terdakwa dikenakan Pasal 11, Pasal 2 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 yang diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
"Pasal yang dikenakan sama terdakwa berbeda sama tiga rekannya. Terdakwa dikenakan pasal Pasal 11 yang berbunyi, Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangannya," ujar Hendri.
Selain itu terdakwa juga dikenakan dakwaan pencucian uang, yakni Pasal 5 Ayat (1) UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pembentukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana. [ded]
KOMENTAR ANDA