post image
KOMENTAR
Bagi sebagian masyarakat Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Pangaribuan, Simalungun, pohon enau mirip "tambang hijau" tak pernah habis. Pohon sejenis palma, yang hidup di hutan tetapi dapat juga dibudidayakan, untuk memperoleh airnya yang manis dari tangkai tandannya.

Seorang paragat (penderes air nira enau), Barus Siallagan Barus merupakan salah seorang petani yang sukses dalam mengelola lebih dari 20 pohon enau.

Kepala dusun Dolok Parmonangan, di desa Pondok Bulu, kecamatan Dolok Panribuan, Simalungun itu, bercerita mengenai hal-ihwal enau (bahasa Batak: Bagot).

Ayah dari lima anak itu, mengelola pohon enau, yang sebagian sudah berusia 30 tahun dan sebagian lagi masih kurang dari 10 tahun, di suatu lembah dekat dengan batas HTI (hutan tanaman industri) TobaPulp sektor Aeknauli.

Dia ditemui sedang mengiris tandan pohon enaunya pada ketinggian sekitar 10 meter dari tanah. Ia memanjat pakai tangga yang terbuat dari hanya sebatang bambu yang dilubangi sebagai pijakan.

Lelaki yang masih tampak muda, kokoh dan lincah pada usia 50 tahun itu, juga membudidayakan berbagai tanaman lain di suatu dataran sekitar 2 hektar, antara lain berisi tanaman kopi robusta, pisang Toba, serta berbagai macam sayuran.

Ia melukiskan enau sebagai "tambang hijau" sebab bisa dibudidayakan dan karena itu tidak akan pernah habis sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia, serta cukup memberi manfaat kepada masyarakat.

"Paling tidak, air yang menetes dari tandan enau bisa dijadikan gula merah (gula aren) yang bermanfaat sebagai bahan baku berbagai macam makanan, dan juga tuak," ujarnya.  

Sedangkan lidi yang dihasilkan daun enau juga dijadikan sapu atau tusuk sate, sedang ijuk yang tumbuh di ketiak pelepahnya dulu jadi atap rumah yang dapat bertahan puluhan tahun.

Menurut Barus, sebagai tanaman hutan, faktanya enau bisa sangat "bersahabat" dengan tanaman pokok HTI Toba Pulp (PT Toba Pulp Lestari,Tbk), Eucalyptus.

"Di tengah konsesi TobaPulp sendiri, pohon enau termasuk pohon yang dilindungi sebagai "tanaman kehidupan," agar tetap dapat terus diambil hasil (nira)-nya oleh penduduk sekitar," imbuhnya.  

Khusus di areal tanaman enau milik Barus, di suatu lembah, nyatanya tumbuh lebih subur dibandingkan dengan enau yang letaknya berjauhan.

Dia berpendapat, dan sekaligus berharap, agar TobaPulp bersedia mendorong pembudidayaan enau secara massal oleh masyarakat, dengan membantu penyediaan bibit unggul, teknologi mempercepat pertumbuhan serta masa panen. “Bila ini bisa terjadi, maka kaum paragat pasti punya masa depat yang lebih cerah,” katanya. [ded]


FOTO: Barus Siallagan jongkok disamping se-jerigen air nira yang baru diturunkan dari wadah penampungan. [Foto: Istimewa]

FOSAD Nilai Sejumlah Buku Kurikulum Sastra Tak pantas Dibaca Siswa Sekolah

Sebelumnya

Cagar Budaya Berupa Bangunan Jadi Andalan Pariwisata Kota Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Budaya