post image
KOMENTAR
Dalam berbagai kesempatan sutradara Hanung Bramantyo kerap mengatakan bahwa dirinya memiliki tafsir sendiri mengenai sosok Soekarno. Di mata Hanung Bramantyo, Soekarno tidaklah seheroik yang dibayangkan bayangkan banyak orang.

Dia juga mengakui beberapa adegan dalam film Soekarno yang disutradarainya merupakan dramatisasi semata.

Menurut sutradara senior Yan Daryono, Hanung Bramantyo memang memiilki hak untuk menafsirkan peristiwa di masa lalu. Tetapi, ujar Yan yang pernah menyutradarai film dan menulis buku Dewi Sartika ini, tafsir seorang sutradara atas peristiwa sejarah memiliki koridor yang tidak bisa dilanggar.

"Membuat film yang dikonsumsi publik bertema dan berlatar sejarah apalagi mengenai pribadi seorang tokoh sekelas Bung Karno tentu tidak bisa dilakukan sembarangan dan didasarkan pada subjektifitas semata-mata," ujar Yan dalam pembicaraan dengan Rakyat Merdeka Online, Jumat (27/12/2013).

"Penafsiran itu tetap harus bisa dipertanggungjawabkan dari sisi kebenaran fakta sejarah," sambungnya.

Yan yang kini menetap di Bandung membandingkan upaya Hanung Bramantyo memahami peristiwa sejarah dengan upaya sutradara kelas dunia seperti Steven Spielberg ketika menyutradari film Schlindler's List, Band of Brothers, atau yang paling anyar Abraham Lincoln.

Sikap menghargai peristiwa sejarah juga diperlihatkan oleh sutradara Indonesia seperti Erros Djarot ketika menggarap film Tjut Nyak Dhien. Begitu juga dengan Arifin C. Noer yang menyutradarai Serangan Fajar, Jakarta 66, dan Pengkhianatan G30S/PKI.

Hal serupa juga terlihat dari film November 1828 karya sutradara Teguh Karya.

"Kalau membuat tafsir bebas (atas sejarah) sebagai sebuah karya kreatif boleh saja. Tapi tidak bisa mengubah jalan dan fakta sejarah. Konsekuensinya, tidak bisa menghadirkan tokoh atau pelaku sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan mereka," katanya lagi.

"Hanung jangan berlindung di balik hak menafsirkan. Dia tidak bisa sembarangan mendramatisasi. Ini berarti film itu cacat etika dan kalau dikaji lebih jauh merugikan publik penonton," demikian Yan Daryono.

Film Soekarno yang diproduksi Tripar Multivision Plus milik Raam Punjabi itu hingga kini masih ditayangkan kendati Pengadilan Niaga telah menerbitkan penetapan sementara untuk menghentikan penayangan di bioskop-bioskop karena masih ada persoalan hak cipta.

Selain Pengadilan Niaga, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga masih menangani gugatan pencurian karya cipta yang mendasari kelahiran film ini. Polda Metro Jaya juga telah memeriksa sejumlah saksi untuk tuduhan mencuri karya cipta dan penghinaan [rmol/hta]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas