Jika saat ini Indonesia secara umum masih megap-megap memenuhi kebutuhan tenaga listrik, di masa depan terbuka kemungkinan menjadi pengekspor. Teknologi sistem transmisi baru, tegangan tinggi arus searah (High Voltage Direct Current, HVDC), yang membuka peluang kondisi tersebut terjadi.
Dengan teknologi ini interkoneksi antar wilayah hingga yang terjauh sekalipun mudah dilakukan. Begitu pula antar negara.
Demikian disampaikan pakar teknologi HVDC dari perusahaan ternama Perancis (Alstom), Terklin Sinulingga dalam keterangan yang diterima MedanBagus.Com, Jumat (23/12/2013).
Terklin yang menjabat Senior Bid Manager dan berkedudukan di Stafford (Inggris),
Jumat pekan lalu (20/12/2013), menjadi pembicara dalam acara Pekan Ilmiah Teknik Elektro USU.
Dijelaskannya, dengan HVDC pembangunan pembangkit tidak lagi harus berdekatan dengan pusat beban. Cukup di tempat-tempat dimana sumber bahan bakarnya tersedia melimpah.
Misalnya di daerah yang kaya batubara, panas bumi, tenaga matahari, air, dan sebagainya. Dari sini diperoleh keuntungan; tidak dibutuhkan biaya besar untuk transportasi.
Dengan HVDC, lulusan TE USU tersebut menyatakan tak ada kendala berarti yang dihadapi kendati jarak antara pembangkit dengan pusat beban berjauhan. Tidak perlu membentangkan kabel sedemikian panjang sebagaimana VHAC agar listrik dapat tersalurkan.
Sebab tenaga listrik yang dihasilkan masing-masing pembangkit kemudian dikumpulkan di gardu induk. Selanjutnya dengan converter station tenaga listrik yang ada dihantarkan ke wilayah mana saja tempat pusat beban berada yang sudah masuk ke dalam jaringan interkoneksi.
"Coba bayangkan dari ujung utara ke ujung selatan Pulau Sumatera berjarak 2000km, Jawa 1000km dan Kalimantan 1500km, betapa panjang kabel yang harus digelar. Ditambah tower yang harus dibangun, sangat cukup besar biaya yang dibutuhkan dengan teknologi HVAC. Berbeda jauh dengan HVDC," kata Terklin.
Sayangnya hingga ini belum satupun wilayah di Indonesia yang jaringan interkoneksinya menggunakan HVDC. Itu sebabnya kehandalan penyediaan tenaga listrik menjadi buruk. Ketika satu wilayah mengalami defisit, wilayah lainnya yang memiliki cadangan berlebih tidak bisa membantu.
Maka tak heran kalau sampai sekarang persoalan pemadaman bergilir di Sumut belum juga terpecahkan.
Menurut Terklin, manakala interkoneksi antar negara-negara Asean sudah terpasang, kelebihan energi di masing-masing negara dapat disalurkan ke negara yang mengalami kekurangan.
Untuk Indonesia, baru terdapat satu rencana pembangunan jaringan interkoneksi dengan teknologi yakni Sumatera-Jawa. Dengan tegangan 500kV dan kapasitas tenaga listrik 3000MW.
Untuk Sumatera converter station-nya ditempatkan di Sumatera Selatan (Sumbagsel), sedangkan untuk Jawa di Bogor. Direncanakan interkoneksi ini akan selesai dibangun pada 2019.
Menurut Terklin, terbuka kemungkinan interkoneksi Sumatera-Jawa itu dapat diteruskan hingga Sumatera Utara (Medan). Sehingga pemedaman-pemadaman bergilir yang hingga kini masih terus terjadi bisa dihentikan.
"Converter station yang nantinya dipasang di Sumatera Selatan bisa dimodifikasi menjadi multi terminal. Selanjutnya converter station dibangun di Medan, dengan demikian interkoneksi HVDC menyeluruh hingga Sumatera," kata Terklin.
Dengan interkoneksi tersebut, satu saat jika Sumut mengalami defisit listrik, seketika dapat diinjeksikan dari wilayah lainnya sebesar daya listrik yang dibutuhkan. Misalnya, 300 MW.
"Jadi cukup meyakinkan jika dengan interkoneksi HVDC keandalan penyediaan listrik dapat dipercaya," katanya. [ded]
KOMENTAR ANDA