Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), memprediksi masa pemilu merupakan masa yang rawan karena digunakan sebagai alat untuk mencuci uang haram. Transaksi tunai non transfer baik keuangan partai politik maupun keuangan para kader partai politik diperkirakan mencapai lebih dari 50 persen.
"Bagi partai politik yang terbukti menerima aliran dana korupsi, maka partai secara institusi bisa dijerat. Hal itu terkait adanya sejumlah aliran dana yang diduga mengalir ke parpol berasal dari hasil tindak pidana korupsi," jelas Kepala PPATK Muhammad Yusuf.
Menurutnya, partai politik bisa dianggap sebagai korporasi untuk dijadikan sebagai subjek hukum tindak pidana pencucian uang. Namun, Yusuf menilai hal tersebut sulit untuk diterapkan.
"Dalam beberapa kasus yang sudah dan tengah disidangkan, tantangan terbesar bagi penegak hukum adalah membuktikan partai politik merupakan tempat bagi pencucian uang. Para terdakwa ataupun partai politik pasti beralibi bahwa tindakan tersebut tidak ada kaitannya," papar Muhammad Yusuf.
Untuk membatasi ruang pencucian uang, Yusuf mengatakan perlu adanya penegasan dari KPU untuk memaksimalkan aturan rekening dana kampanye. Selain itu PPATK juga menegaskan perlu adanya aturan pembatasan transaksi tunai dan mengarahkan ke transaksi non tunai. [ded]
KOMENTAR ANDA