post image
KOMENTAR
Terminal Informasi Rakyat (TIRA) Sumatera Utara, Rabu (27/11/2013), mendatangi gedung Mahkamah Agung Jakarta, terkait proses kasasi Walikota Medan nonaktif, Rahudman Harahap yang diduga sudah bocor.

Dalam keterangannya kepada MedanBagus.Com, sesaat lalu, Ketua Umum Terminal Informasi Rakyat (TIRA) Sumatera Utara, Parulian Siregar MAg mengatakan, tujuan kedatangan mereka ke MA untuk mempertanyakan langsung terkait kabar vonis bebas Rahudman oleh Mahmakah Agung.

"Padahal, panel majelis hakim kasasi MA belum mengeluarkan putusan apapun. Itu sebabnya proses kasasi Rahudman Harahap kita pertanyakan," jelas Parulian Siregar MAg.

Menurut Parulian, saat persidangan di PN Medan, informasi Rahudman divonis bebas juga beredar luas seminggu sebelum majelis hakim Tipikor yang diketuai Sugiyanto membacakan putusan.

Kabar itu menyebar sejak 8 Agustus 2013, sedangkan hakim Tipikor PN Medan membacakan vonis bebas 15 Agustus 2013.

"Kini dalam proses kasasi beredar kabar serupa, yakni MA memvonis bebas Rahudman. Jika kabar ini benar, disinyalir MA juga sudah dikondisikan seperti hakim Tipikor PN Medan," kata Parulian.

Demi tegaknya hukum, Parulian mengharapkan Ketua MA dapat menempatkan hakim-hakim agung yang berintegritas tinggi terhadap pemberantasan korupsi menjadi majelis panel kasasi kasus korupsi terdakwa Rahudman Harahap.

"Kami berharap kasasi ini tidak melibatkan hakim agung yang berasal dari Sumatera,” ujar Parulian didampingi Ketua DPP Himpunan Mahasiswa Alwashliyah (Himmah) Aminullah Siagian, Ketua DPC Himmah Medan Nurul Yakin Sitorus dan sekretaris Marwan Harahap.

Dalam aksi yang dikoordinir J Assayuti SH MH dan Suleman Suhdi SPdI, ratusan massa meminta agar proses hukum kasasi Rahudman dilaksanakan sesuai mekanisme undang-undang.

Massa juga meminta Ketua MA memberi tindakan kepada hakim Sugiyanto yang memvonis bebas terdakwa korupsi Rahudman Harahap.

"Kami menduga vonis bebas itu merupakan hasil konspirasi yang mengabaikan azas keadilan di masyarakat," teriak J Assayuti disambut massa dengan yel-yel.

Assayuti dan Suleman Suhdi mengaku mendukung MA memvonis Angelina Sondakh 12 tahun penjara.

"Vonis itu sudah memenuhi azas keadilan, azas kepatutan dan azas sosial yang berdasarkan perundang-undangan. Artinya, pelaku korupsi atau dan oleh karenanya terjadi tindak pidana korupsi, harus dijatuhi hukuman. Tapi, apakah semua azas hukum yang diterapkan kepada Angelina Sondakh itu juga diterapkan MA terhadap terdakwa korupsi Rahudman Harahap? Kita tunggu putusannya, karena baik Angelina maupun Rahudman sama-sama tersangkut kasus korupsi," sebut Assayuti lantang.

Aksi massa di MA diakhiri dengan penyerahan pernyataan sikap yang diterima staf sekretariat Mahkamah Agung.

"Aspirasi dari mahasiswa ini akan kami sampaikan kepada pimpinan," ucap staf Bagian Tata Usaha MA, Joko MS, SH.

Datangi KY

Selain aksi di MA, massa TIRA Sumut dan Himmah juga menggelar demonstrasi di Komisi Yudisial (KY). Mereka meminta ketua KY agar mengawasi proses kasasi Rahudman.

"Kami juga meminta penjelasan terkait pemeriksaan dan penyidikan hakim Sugiyanto yang telah memvonis bebas terdakwa korupsi Rahudman," tukas Assayuti seraya berharap agar KY menyarankan kepada MA supaya panel majelis hakim kasasi Rahudman tidak berasal dari Sumatera.

Aksi di KY, massa TIRA dan Himmah diterima secara delegasi oleh tenaga ahli KY, M Imron, Kabag Adm dan Laporan Masyarakat Indra Syamsu dan Plt Kasubag Verifikasi dan Anotasi Istunta Napitupulu.

"Soal Rahudman sudah banyak laporan masyarakat yang kami terima,” tutur Indra Syamsu.

Menurutnya, kasus Rahudman menjadi prioritas bagi KY. Ada dua penanganan dalam kasus ini. Pertama, tim melakukan pemantauan proses kasasi Rahudman Harahap di MA.

Sedangkan yang kedua, tim melakukan anotasi terkait petikan putusan bebas dari hakim Tipikor PN Medan yang ditengarai hilangnya beberapa pasal-pasal dan keterangan saksi-saksi.

"Tolong bantu KY. Kalau ada data-data pendukung yang lain, termasuk rekaman selama berjalannya persidangan," sebut Imron.

Di sela-sela pertemuan dengan pejabat KY, Parulian Siregar memaparkan kasus korupsi yang menjerat Rahudman dan kejanggalan vonis bebasnya.
Rahudman dijerat kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan Tahun 2004-2005 mencapai Rp 1,5 miliar lebih. Saat itu Rahudman menjabat Sekda Tapanuli Selatan.

"Ada beberapa kejanggalan selama persidangan," tuturnya.

Menurut Parulian, majelis hakim enggan mengurai kebenaran dari keterangan saksi-saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hakim condong memasukkan keterangan saksi meringankan Rahudman dalam pertimbangan putusan.

Mirisnya, ketua majelis hakim Sugiyanto kerap menyudutkan JPU selama persidangan.

"Kami menilai persidangan itu bukannya mengadili terdakwa, tetapi majelis hakim mengadili jaksa," ujar Parulian.

Kejanggalan putusan, sebut Parulian, majelis hakim memasukkan TPAPD dalam kategori belanja pegawai yang diduga untuk mengaburkan dakwaan. Padahal, TPAPD sifatnya bantuan untuk perangkat desa, bukan belanja pegawai.

"Banyak landasan hukum menyebut TPAPD sifatnya merupakan bantuan, tidak dipakai dalam pertimbangan majelis hakim," katanya.

Parulian memaparkan landasan hukum TPAPD bersifat bantuan. Pertama, Pasal 52 ayat (1) Kepmendagri No 29/2002, Instruksi Mendagri No 29/1989, dan Perda Tapsel No 3/2005.

"Semuanya menyebut TPAPD bersifat bantuan. Tidak ada dalil yang menyebut TPAPD bersifat belanja pegawai," bebernya.

Selama persidangan kasus TPAPD, ucap Parulian, pihaknya juga mengetahui ada bukti surat perintah pembayaran (SPP) yang isinya menyebut TPAPD bersifat bantuan. Anehnya, majelis hakim tidak mempertimbangkan landasan hukum itu.

"Ini sudah masuk kategori penggelapan hukum. Kami minta Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim diketuai Sugiyanto secara terbuka yang disaksikan publik," sebutnya.

Selain itu, terungkap di persidangan bahwa saat Rahudman menjabat Sekda Tapsel, dana TPAPD dicairkan sebelum APBD disahkan.

"Ini pelanggaran nyata melanggar Kepmendagri 29/2002 yang menyebut pengeluaran kas sebelum APBD disahkan tidak dapat dilakukan," kesal Parulian.

Dalam kasus korupsi, timpal Assayuti SH MH, tidak pernah dilakukan perorangan, tetapi melibatkan orang lain. Apalagi dalam persidangan TPAPD di Pengadilan Tipikor Medan, Amrin Tambunan mantan bendaharawan Pemkab Tapsel mengaku mencairkan TPAPD atas perintah Sekda Rahudman Harahap.

Anehnya, hakim tidak mempertimbangkan pengakuan tersebut, malah membebankan tanggungjawab pengeluaran anggaran semata kepada Amrin Tambunan.

Padahal, sesuai pasal 38 ayat (1) dan (2) Kepmendagri 29/2002 menjelaskan pengguna anggaran bertanggunjawab atas untuk penatausahan anggaran yang dialokasikan pada unit kerja yang dipimpinnya.

Hal ini juga dijabarkan dalam pasal 54 ayat (1) UU No 1/2004 tentang perbendaharaan negara.

"Amrin Tambunan merupakan bawahan Rahudman. Namun, Amrin divonis bersalah 4 tahun penjara melalui proses banding sampai ke Mahkamah Agung, sedangkan Rahudman dinyatakan bebas murni. Inikan aneh," papar Aminullah.
Keanehan lainnya, majelis hakim dalam putusannya memakai Kepmendagri No 13 Tahun 2006 untuk peristiwa korupsi TPAPD Tapsel yang terjadi tahun 2004-2005.

Kejanggalan lainnya, ujar Parulian, tenggat waktu untuk mengajukan kasasi Rahudman diduga sudah melebihi hari yang ditentukan KUHAP. Rahudman Harahap divonis bebas 15 Agustus 2013.

Namun, proses kasasi dikirim ke MA pada 3 Oktober. Itu artinya sudah mencapai 50 hari. Padahal pengajuan proses kasasi itu selambat-lambatnya 42 hari setelah putusan dibacakan.

"Ini jelas bertentangan dengan KUHAP Bab XVII upaya hukum," tukas alumnus IAIN Sumut tersebut. [ded]

Kuasa Hukum BKM: Tak Mendengar Saran Pemerintah, Yayasan SDI Al Hidayah Malah Memasang Spanduk Penerimaan Siswa Baru

Sebelumnya

Remaja Masjid Al Hidayah: Yayasan Provokasi Warga!

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Hukum