(untuk almamaterku)
Rajab dan Muis bertemu di balik pohon besar di halaman belakang sekolah. “Siapa saja yang mau ikut malam ini?” tanya Rajab. Muis menggeleng. “Syafei dan Ilham, Misrun juga mau ikut barangkali.”
Tak lama, seorang siswa lain mendekati mereka. Seragamnya kucel. Padahal ini baru hari Senin. “Jab, Is, sedang apa kalian? tak ikut upacara?” sapa Shaleh, sambil mendekati dua siswa kelas tiga SMA.
“Sebentar lagi Leh, kau pergi sajalah dulu.” jawab Muis mengusir. Shaleh tertegun sejenak. Kemudian tanpa banyak tanya langsung balik kanan.
“Jangan sampai dia tahu. Mulutnya rame seperti sarang lebah.” ujar Rajab. Muis mengamini.
Tujuhlimabelas. Bel berbunyi. Suara gaduh terdengar dari halaman sekolah. Seluruh siswa kini mulai mengatur barisan agaknya.
“Jab, ayo.”
“Sebentar, aku sedang merapikan bajuku,” jawab Rajab sambil setengah berlari menghampiri Muis.
Beberapa menit berlalu, dua anak itu sudah berada di dalam barisan. Misrun, ketua kelas tiga IPA satu, tengah mempersiapkan barisan yang dipimpinnya.
“Kau ikut kami kan ‘I” tanya Muis. Syafei berbadan bongsor dan berkacamata mengangguk dan menjawab pelan.
“Pulangnya jangan terlalu malam, aku harus mengerjakan tugas.”
“Tenang aja ‘I, nanti, sepulang dari rumah Wak Leman, kita kerjakan tugasnya bersama-sama,” sahut Ilham yang berdiri di barisan ke empat dari belakang. Misrun melirik teman-temannya yang masih gaduh.
“Sttt, jangan sampai Shaleh tahu.” bisik Rajab kepada Muis yang berdiri di depannya.
Usai pengibaran bendera, kepala sekolah naik ke podium dan mulai memberikan ceramahnya.
Ini adalah saat-saat yang sama sekali tidak disukai Rajab. Dengan sengaja, siswa yang badung di kelas tiga IPA itu membuat gangguan kecil di tengah barisan.
“Pidatonya kepanjangan. Seperti menteri saja dia bicara,”
“Bukan saja menteri, kau tak lihat bagaimana tangan Pak Kepala sekolah bergerak-gerak? Seperti tangan Presiden Republik Mimpi!”
“Hah, pidatonya masih sama! dari Senin ke senin itu-itu aja. Tidak kreatif. Tidak maju.” sambut Muis.
“Bete,”
“Panas,”
Riuh mulai terasa di barisan kelas tiga IPA. Dengan sikap istirahat di tempat, Misrun memeringatkan kawan-kawannya. “Stt, jangan berisik, ntar kita dijemur semua loh,”
“Ah, lebih baik dijemur Run, daripada harus masuk ke kelas, di kelas kita harus mengerjakan segudang tugas. Capek gua, mana ujian akhir sudah dekat lagi,” jawab Rajab memberi usul. Siswa yang lain mulai terusik dengan kata-kata Rajab.
Di atas podium Kepala Sekolah melirik kelas tiga IPA yang mulai gaduh.
“Tuh, dia melirik, silent please,” pinta seorang siswi yang meski lelah berdiri namun tetap setia mendengar ceramah Pak Kepala Sekolah.
“Jadi, narkoba itu berbahaya anak-anakku. Selain dosa, narkoba juga membuat kita jadi tidak kreatif, tidak produktif. Tidak fokus dan tentu saja efeknya yang membuat korban jadi tergantung,” ujar Pak Kepala Sekolah.
Di barisannya Rajab mulai kesal. Sementara Muis, teman setianya juga terlihat sama.
“Kita harus jauhi narkoba. Apalagi, sekarang kita akan menghadapi ujian akhir. Persiapkan diri kalian. Belajarlah semakin keras. Karena belajar membuat kita pintar....”
“Ya, iya lah,” celetuk Rajab di barisannya. Tanpa sadar dia mengucapkannya terlalu keras, sehingga siswa lain yang mendengarnya kontan memberikan reaksi.
Gemuruh tawa mulai terdengar sayup dari barisan belakang kelas tiga IPA. Mula-mula Muis, diikuti Syafei dan terakhir Misrun yang berdiri persis di depan Kepala sekolah.
“Anak-anakku sekalian. satu hal yang perlu diingat. Jangan lupa untuk menyelesaikan kelengkapan administrasinya...”
Kali ini Rajab tak lagi nyeletuk tapi langsung menyambut dengan teriakan “Wuuu...”
Teriakan kecil itu pun disambut hangat siswa yang lain. Hingga tak sadar, di tengah-tengah pidato Kepala sekolah yang agung, terselip pekikan “Wuuu...”
Tercengang sejenak, namun kepala sekolah tetap jumawa melanjutkan pidatonya. “kita akan menambah jam dan kelas tambahan untuk kelas tiga,” lanjut kepala sekolah dengan disusul teriakan “Wuuu...” yang semakin kencang.
“Tenang-tenang anak-anak...” pintanya. Namun banyak dari siswa, khusunya kelas tiga dari semua jurusan masih terus berteriak “Wuuu...”
Dari jauh, Pak Karno, guru BP, tengah memantau. Nasib sial, bagi kelas tiga IPA, mereka semua berhasil dipantau dan diincar Pak Karno.
Di ujung upacara seluruh siswa kelas tiga IPA semakin resah. Terbayang akan tugas-tugas mereka bila nanti tiba di kelas. Sementara di depan halaman guru Pak Karno tengah membariskan siswa-siswa bermasalah, hasil razia ke tengah-tengah barisan. Tak jauh dari gerombolan siswa yang tak mematuhi aturan upacara duduk beberapa siswa yang menyerah untuk mengikuti upacara bendera. Wajah mereka kuyu, ada juga yang terlihat sesak nafas meski lebih terlihat dibuat-buat.
“Perhatian-perhatian, khusus kelas tiga IPA satu, jangan masuk kelas dulu. Kelas tiga IPA satu!” terdengar suara Pak Karno memberikan informasi.
“Tuh, apa kubilang, kalian sih, ribut terus,” ujar Misrun kepada teman-temannya di dalam barisan. Sementara di atas Podium Pak Karno dengan garang terus memberikan pengumuman. Misrun berlari menghadap Pak Karno.
“Yes, mantab,” kata Rajab. Muis, Syafei dan Ilham cengengesan. Sementara siswi-siswi kelas tiga IPA satu berdiri sambil menggoyang-goyangkan lutut mereka.
“Tidak ada pilihan lain,”
“Lebih baik dijemur,”
“Tapi tugasku sudah selesai, sepanjang malam aku selsesaikan tugasku,” ujar Martha, siswi teladan di kelas Rajab.
“Iya, memang kamu sudah selesai Martha, tetapi yang lain? “
“Makanya sesama pelajar jangan pelit-pelit contekan.”
“Iya,”
"Betul”
“Lebih baik kita dijemur sepanjang hari, betul tidak kawan-kawan?” tanya Muis.
“Wah dijemurnya sih oke, tapi jangan satu harian lah. Gila,” ujar siswi yang lain.
“Yah, gila karena dijemur lebih baik daripada gila karena belajar,” sambung Rajab.
“Ah itu kan mau kalian,” cetus Shaleh. Syafei dan Ilham kontan meraih kerah baju dan menendang pantat Shaleh yang berdiri di depan. Shaleh meringis menahan sakit.
“Kita disuruh membersihkan WC dan halaman, kawan-kawan,” ujar Misrun tersengal-sengal.
“Ah, apa pula?”
“WC?”
“Halaman sih oke, tapi kalau WC?”
“Rajab, bagaimana sekarang?” tanya Muis sambil membayangkan bakal hukuman yang diterima.
“Mana aku tahu, tanya si Misrun,” balas Rajab.
Upacara bendera bubar. Seluruh siswa kembali ke kelasnya masing-masing. Tinggal lah siswa-siswa bermasalah yang menanti hukuman dari Pak Karno.
“Aku tak terima hukuman itu,” tukas seorang siswa.
“Sudahlah, terima saja, toh kita semua dihukumnya bersama-sama,” jawab Rajab.
“Enak saja, engkau yang buat gaduh, kita disuruh menanggung akibatnya,”
“Lebih baik di sini daripada di dalam kelas. Sambil membersihkan halaman, kita tetap bisa mengobrol, rileks. Daripada bertemu guru-guru yang berwajah kubus,”
Rupanya seluruh siswa terhibur juga dengan kata-kata Rajab. Tawa segera membahana dari barisan yang tengah menanti hukuman itu. Pak Karno yang menghukum siswa yang tak patuh kemudian menghampiri kelas tiga IPA satu. Rajab menelan ludahnya. Bagi dia, sekaranglah saat-saat dimana dia harus mengasihani dirinya sendiri.
Dengan wajah galak dan suara tinggi, Pak Karno menghardik Misrun dan kawan-kawannya.
“Seharusnya kalian memberikan teladan bagi adik kelas. Bukannya membuat gaduh,” ujar guru yang masuk dalam daftar killer di buku catatan siswa sekolah Rajab.
“Sekarang bersihkan halaman, WC dan lalu kembali ke sini. Segera!” bentak Pak Karno. Seluruh siswa kelas tiga IPA satu pucat. Hanya Rajab yang menyunggingkan bibirnya.
Sambil menahan kesal, siswa hukuman itu membubarkan dirinya menuju halaman sekolah. Sementara dari jendela kelas, terlihat beberapa siswa kelas lain mengintip.
“Kita ditonton kelas lain Jab,” ujar Muis menghampiri Rajab.
“Biarin, bukannya bagus kita ditonton?,” jawab Rajab sambil mencabut rumput liar yang tumbuh di halaman. “Sial! apa guna tukang kebun, kalau kita juga yang membersihkan rumput-rumput ini?” tanya Rajab pada dirinya sendiri.
Ilham menghampiri. “Tidak bisa kita begini. Meski kita siswa, kita juga manusia , Jab. Ingin rasanya aku balas memaki guru-guru yang sok kuasa itu,” gerutu dia.
Rajab semakin jengkel. Dicabutnya rumput dengan kencang.
“Kau punya ide apa Jab?” tanya Muis. Namun Rajab yang dikenal sebagai anak kreatif, kali ini seperti mati siasat.
“Woi, gimana malam nanti? aku ikut ya?” sapa Shaleh menghampiri.
“Ah dia lagi.” ujar Ilham.
“Tahu darimana dia rencana kita malam nanti?” tanya Muis.
Shaleh mendekat. “Kata si Syafei, kalian mau ke rumah...” suara Shaleh tercekat. Tangan Rajab dengan kencang membekap mulut Shaleh. “Eh apa-apaan ini? Mulutku kemasukan tanah,”
“Diam kau. Bikin rusak peta saja,” ujar Rajab melepas bekapannya.
Dari jauh Pak Karno mengawasi siswa kelas tiga IPA satu. Seiring siang, tampang Pak Karno semakin garang.
“Ayo, semua berpikir.” perintah Rajab kepada teman-temannya yang mulai berkumpul.
“Jab, aku diperintahkan bekerja, bukan berpikir. Kau sajalah yang berpikir.” sambung Muis.
“Ah, kau. Kau sendiri yang bilang sudah capek. sekarang, kuminta kau berpikir, kau bilang kau tidak sedang diperintahkan berpikir.” jawab Rajab sambil terus mencabuti rumput-rumput liar.
“Kita musti melawan kawan-kawan.”
“Gila kau, mana mungkin kita melawan. Aku kemari dititipkan emakku untuk sekolah. Bukan untuk melawan,” ujar Syafei yang sudah ada di tengah-tengah mereka.
Matahari bersinar terik. Misrun mondar-mandir sambil terus menebar senyumnya kepada Rajab cumsuis. “Tuh, si Misrun, tidak ada rasa senasib sepenangungan. Kita semua dihukum, dia mondar-mandir saja.” ujar Muis.
“yang minta dihukum ‘kan kau, makanya, kuminta kau berpikir, biar tak dihukum,” kata Rajab.
“Ah, apa yang bisa dipikirkan, kita serba susah Jab.” sambung Ilham.
“Ah, kemari kalian semua. Merapat, merapat.” pinta Rajab dengan wajah berseri. Hari semakin siang. Siswa kelas tiga IPA satu mulai lelah.
Pak Karno mulai terusik dengan kelompok Rajab yang bergerombol mengobrol.
“Hai, kalian! apa yang kalian lakukan? Bubar-bubar!” teriak Pak Karno sembari mendekat. Rajab dan kawan-kawan kaget dan mulai berpencar.
“Kau ingat ya, begitu kubilang siap, kau siap,” perintah Rajab.
“Kau yakin Jab?” tanya Muis sambil menjauh.
“Insyaallah,”
Pak Karno mendekat. Rajab kembali mencabuti rumput liar.
“Kamu, bersihkan WC!” perintah Pak Karno kepada Muis yang gelagapan. Muis manggut dan menurut pada perintah Pak Karno. Kesal di hatinya semakin menkristal.
“Ku balas kau,” maki Muis sambil beranjak ke WC.
Dari jauh Shaleh memperhatikan Rajab.
“Mulai!” perintah Rajab.
Syafei ambruk, kelojotan di tanah kemudian diam tak bergerak. Seluruh siswa hukuman mengerubungi tubuh Syafei.
“Run, Syafei, pingsan,” teriak Rajab. Misrun lari mendekat. Kemudian berbalik ke ruang guru.
***
“Apa, pingsan?” tanya Pak Karno. “Badannya montok begitu kok bisa pingsan?”
“Baiknya Bapak lihat saja dahulu,” ujar Misrun tersengal-sengal.
Di halaman sekolah para siswa berhamburan. Empat siswi menangis, satu diantaranya meraung histeris.
“Pak, Syafei mengamuk.” lapor seorang siswa.
“Apa? mengamuk?” serempak Misrun dan Pak Karno bertanya.
***
Di WC, Muis masih mempersiapkan diri. “Inilah saatnya, aku membalas,”
Sementara kepanikan merembet ke dalam kelas.
“Kesetanan!”
“Kerasukan!”
“Masyaallah!”
“Allahuakbar!”
“Puji Tuhan!”
Syafei menggeliat di tanah. Dia berguling-guling terus sambil meracau. Tak jauh darinya empat siswi yang tadinya meraung sudah jatuh pingsan. Raungan semakin kencang. Di kelas tiga IPA dua yang tengah belajar Fisika, bangku-bangku dilempar. Guru yang mengajar lari pontang-panting meninggalkan kelas.
Pak Karno panik. Dengan ragu, didekapnya Syafei yang tengah meracau.
“Allahu akbar, pergi kau setan!” katanya sambil berteriak. Namun teriakan itu tetap kalah dengan suara siswa yang semakin ramai.
Dua orang siswa yang lain ikut terjatuh, berguling-gulingan dan berteriak histeris.
Semua guru dan siswa SMA itu berkumpul di lapangan. Korban dilarikan ke dalam kelas. Tak terkecuali Syafei yang sudah dibekap Ilham dan Misrun. Namun, begitu Syafei mau digotong ke dalam kelas, di WC, Muis berteriak.
“Hai, tuan guru, aku adalah jin penunggu sekolah,” ujar Muis dengan suara serak dibuat-buat. Shaleh menelan ludah. Dia mulai ikut-ikutan panik.
“Ha? jatuh juga?” ujar Pak Karno. “Panggil kiyai, pendeta, pastor, dan dukun....” perintahnya kepada Misrun. Misrun yang tengah membopong Syafei lari meninggalkan sekolah. Seorang guru berlari-lari dikejar siswa yang �"entah kesurupan-. Dia terjatuh, berguling-gulingan lalu ikut berteriak seperti siswanya.
“Pak Karno, dukun, kyiai, pastor dan pendeta masih dalam perjalanan. Saya bawa orang ini Pak,” lapor Misrun.
“Siapa dia?” tanya Pak Karno.
“Wartawan, Pak,”
“Wartawan?” ulang Pak Karno. Si wartawan tersenyum. Sedang Misrun jatuh lunglai ke tanah.
“Jadi bagaimana kejadiannya?”
“Kejadian apa?”
“Kesurupan massal ini,”
“Siapa bilang kesurupan?”
“Lha ini apa tha Pak?”
“Ini hanya anak-anak yang sedang disusupi setan.”
“Nah, sama saja tha Pak?”
“Sama bagaimana? Ya jelas beda. Kalau kesurupan ya kesurupan. Kalau disusupi setan, namanya kesetanan.” jawab Pak Karno.
“Whatever, kejadiannya bagaimana Pak?”
“Ya, begitu saja Mas. Tiba-tiba, sekonyong-konyong siswa berteriak, malah ada yang menghancurkan properti sekolah segala,”
“Maksudnya anarki Pak?
“Iya anarki, seperti yang biasa dilakukan orang demo itu,”
“maksud bapak massa aksi?”
“Bukan, aksi massa,”
“Massa aksi barangkali Pak,”
“Yang guru itu saya atau sampeyan sih? Sudah ah, jangan tanya lagi, saya sedang repot nih,” tandas Pak Karno sambil sibuk membopong siswa-siswa lain yang jatuh pingsan.
“Tapi, Pak...”
***
Shaleh tak melihat Rajab. Sejak suasana menjadi kacau, Rajab raib begitu saja. Sementara warga sekitar dan wali siswa sudah ramai mengunjungi sekolah itu. Di kantornya, Pak Kepala Sekolah tengah diinterogasi oleh wali siswa, wartawan dan juga polisi.
“Hai, dengarkan tuan-tuan guru. Lama sudah kuamati perlakuan kalian kepada siswa di sini.” Tiba-tiba Muis menerabas kerumunan orang di ruang kepala sekolah. Kepala Sekolah terkesima, begitu pula dengan orang-orang yang hadir di sana.
“Aku adalah jin penunggu kamar mandi. Aku tak bisa melihat kejahatan yang telah kalian lakukan terhadap siswa-siswa di sini,” ujar Muis meyakinkan. Sambil terus berakting diliuk-liukkannya tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Seorang wartawan terus menyodorkan tape recordernya ke arah Muis.
“Tidak kah kalian pernah sekolah? Tidak kah kalian pernah menjadi siswa juga yang tertekan karena tugas-tugas dan kewajiban?”
Di bawah pohon di halaman belakang sekolah, Rajab duduk dengan galau. Shaleh yang akhirnya menemukan Rajab berjalan mendekat. “Aku tahu ini ulahmu Jab,”
“Kalau memang iya, kau mau apa? Mau melaporkannya ke kepala sekolah?”
“Iya, tentulah, aku pasti akan adukan. Tapi bisa jadi, aku tak akan adukan perbuatanmu dan kawan-kawan lainnya, asalkan...”
“Asalkan apa?”
“Asalkan aku ikut ke rumah...”
“Bah, kau mau ancam aku? Aku tak takut Leh. Silakan saja, kau adukan. Tapi aku juga akan adukan kau,”
“Adukan apa?”
“Kau yang mengedarkan narkoba di sekolah ini,” kata Rajab.
“Apa? Kau tak punya bukti Rajab.”
“Wah, kau salah Bung. Syafei yang memberitahu aku, kalau kau biang keladinya. Kalau itu semua kulaporkan, kau tidak hanya dikeluarkan dari sekolah, tapi juga bisa masuk bui. Kau mau masuk bui?” ancam Rajab membalas.
“Jangan, jangan Jab. Tolong. Aku memang konsumsi narkoba, tapi bukan pengedarnya. Kebetulan saja ketika itu Syafei ada di dekatku, jadi kutawarkan padanya. Tapi dia juga mau kok.”
“Ah, itu sama saja. Sekali pengedar tetap pengedar. Ku adukan kau ke Pak Karno, bisa rusak nama orang tuamu. Bagaimana?”
Shaleh terdiam. Tatapan matanya kosong. Rajab sudah pegang kartunya.
“Ah sudahlah Leh, bagaimana pun, aku masih lebih baik dari kau. Setidaknya, sekarang kita bisa bebas di luar jam sekolah. Ini kulakukan demi kawan-kawan juga.” Timpal Rajab lagi.
Shaleh menunduk.
Di ruangan kepala sekolah, Muis semakin nekat. Semua benda yang ada di atas meja habis diserakkannya. Buku catatan dan administrasi sekolah dirobek dan dimakannya.
“Tenang Pak, tenang. Ini ada Pak Ustad,” kata Pak Karno masuk sambil membawa seorang lelaki tua berbaju gamis.
“Masyaallah, ini cucunya jin ifrit penunggu sekolah.” ujar Pak Ustad begitu melihat Muis yang tengah meronta-ronta karena dibekap.
“Hei, Wak Ustad, ente jangan sok tahu. Ane mantrain, ente bisa jadi onta. Mundur!” perintah Muis yang semakin terbawa suasana.
“Hei,” kata Muis menunjukk Pak Karno. Mengapa kamu begitu kejam kepada cucuku ini? ujar Muis. “Kenapa kamu memberikan hukuman yang tidak mendidik kepada cucuku?” Muis masih terus menatap Pak Karno. Sekarang dia puas bisa melihat tampang Pak Karno yang berubah pucat. “Kau tak punya perasaan. Kalian semua yang ada di sini, guru-guru macam apa kalian? Memberikan tugas kelewat berat. Kalian bilang itu pelajaran? Itu siksaan. Siksaan, Goblok!” kata Muis sambil menepis tangan orang-orang yang membekapnya.
Masuk seorang pendeta membawa salib besar. “Puji Tuhan, ampunilah hambamu ini Tuhan. Dia tidak tahu, kalau alamnya sudah berbeda. Bebaskanlah dia dari dosanya, kembalikan dia ke alamnya,” pidato pak pendeta sambil terus menyodorkan salib ke arah Muis. Muis tertawa sukses. Dua orang pemuka agama sudah dibuatnya terlihat bodoh hari ini. Sambil tertawa keras, Muis mulai menari-nari di atas meja kepala sekolah “Nggak mempan, nggak mempan,” ejeknya.
***
Ilham datang menemui Rajab dan Shaleh. “Jab, bagaimana ini? Gara-gara ulahmu semua orang jadi panik sekarang.”
Rajab menoleh sambil tersenyum kecut. “Salah mereka Il, kenapa mereka mau ikut-ikutan,”
“Salah mereka bagaimana?”
“Awalnya kita cuma berakting agar tidak dihukum. Tapi kok yang lain malah ikut-ikutan? Mana aku tahu. Kau tanyakan saja sama yang lain. Jangan-jangan mereka juga cuma berpartisipasi. Biar tidak belajar,”
“Ah, pandai kau cakap. Aku tak mau ikut-ikutan,” ujar Ilham ketakutan.
“Eh tidak bisa, kau sudah ikut Bung.” sergah Rajab. Shaleh yang berdiri di samping Rajab hanya bisa menunjukkan wajah.
“Dan si Shaleh?” tanya Muis sambil memandangi Shaleh.
“Tidak ada urusan dengan dia. Ayo kita ke kelas.” ajak Rajab. Muis mengekor di belakang. Hanya Shaleh yang memilih tinggal.
Pukul tiga siang. Muis masih berakting di dalam ruang kepala sekolah. Sementara ibunya yang datang ke sekolah, menangis melihat tingkah anaknya.
“Kemana semua uang pembayaran sekolah? Tanya Muis menginterogasi Kepala Sekolah. Pak Karno terus memegangi Muis yang tenanganya semakin siang semakin bertambah. Pak Kepsek panik, gagap tak bisa membujuk Muis. Sementara si wartawan terus menyodorkan tape recordernya.
“Ku cekik kau!” ancam Muis kepada Kepala Sekolah.
“Ada, ada wahai kakek penunggu sekolah,” jawab Kepala sekolah ragu.
“Bohong, kau pasti sudah makan uang itu. Kalau memang ada, kenapa siswa harus dihukum membersihkan halaman dan WC? Bukan kah itu tugas pembersih sekolah?”
“Iya, iya Kek.”
“Iya apa? Sudah berapa bulan pembersih sekolah tak digaji?”
Kepala sekolah bingung. “Hei Bodoh! Aku bertanya padamu,” Muis nekat membentak.
Ruangan hening. Di halaman sekolah kepanikan sudah lama berhenti.
Sambil menelan ludah Kepala Sekolah menjawab putus-putus. “Ti, ti, tiga bulan Kek,”
“Mengapa bisa begitu? Jawab, ku cekik kau!”
“Ampun Kek, jawabnya nanti saja, di sini ada wartawan dan pak pulisi. Tidak enak dijawabnya,”
Muis terus memutar otaknya. Dia terus berusaha agar tidak mati gaya.
“Pak ini ada dukun sakti, baru pulang dari Pantai Selatan,” ujar Misrun menghampiri Pak Karno. Tak lama masuk seorang dukun berbaju lurik. Sementara ustad dan pendeta terus berdoa dengan cara yang beda.
Ruangan kepala sekolah adalah satu-satunya ruangan yang masih ramai. Sebab menurut ustad dan pendeta yang mengusir ruh jahat, raja setannyalah sampai sekarang merasuki tubuh Muis.
“Kelamaan nih. Bilang ke Muis, aktingnya sudah cukup,” kata Rajab pada Syafei.
“Mana bisa bos. Dia dikelilingi orang sakti,” jawab Syafei.
Sambil turun dari meja. Ilham gantian naik ke meja dan gantian mengintip ke dalam ruangan.
“Muis akting apa beneran sih?”
***
“Wharah kadah, babi ngepet roh jahat, keluarlah kau dari tubuh cucuku ini!” perintah Mbah Dukun sambil menyemburkan air mineral ke wajah Muis. Muis kaget sejenak. Jijik dan marah bersatu. Namun dia tak mungkin begitu saja berubah lakon. Sementara dari seberang jendela Ilham terus menunjuk-nunjuk jam tangannya sendiri.
“Hai dukun palsu. Rupanya kau sudah lama tak sikat gigi. Baiklah, aku tak kuat mencium bau mulutmu. Tapi sebelum aku pergi, ingat pesanku, jangan buat cucu-cucuku di sini cepat tua karena tanggung jawab yang tak bisa dipanggulnya. Satu lagi, jangan tambah pekerjaan mereka. Segera bayar gaji pembersih sekolah dan yang terutama, tidak ada mata pelajaran tambahan! Ingat?”
Semua yang hadir mengangguk. Pak ustad dan pendeta terus berdoa. Tak lama Muis terkapar jatuh lunglai. Ditahannya rasa geli yang sejak tadi dirasa.
***
Esok paginya, Muis bertandang ke rumah Wak Leman. Di punggungnya tersandang tas di tangan kirinya sebuah koran. Dia memang tak ke sekolah pagi itu. Sebabnya, Kepala Sekolah telah mengumumkan libur tiga hari untuk meruwat sekolah.
“Is! Lama betul kau datang.” sapa Rajab yang sudah duduk rapi di depan meja di ruang tamu Wak Leman. Syafei membetulkan letak kacamatanya untuk memastikan bahwa yang datang adalah Muis. Sambil menggeser duduknya Syafei membereskan buku pelajaran yang berserakan di atas meja.
Muis masuk dan memberikan koran yang dibawanya pada Rajab.
“Hehehe, kena dia sekarang. Memang harus ada yang berani bongkar kasusnya. Betul tidak? Tanya Rajab pada teman-temannya. Muis dan Syafei mengangguk. “Kita punya cara kawan,” sambungnya lagi. Muis mengambil duduk dan meletakkan tasnya. “Aku sudah bilang pada emakku, hari ini kita belajar kelompok,” kata Muis sambil menjatuhkan pantatnya.
“Itu si Ilham.” ujar Muis.
“Mana si Misrun?” tanya Syafei. Ilham masuk ke dalam rumah.
“Dia tak bisa ikut.” Ilham menjawab dua temannya. Dengan lesu ditutupnya pintu rumah Wak Leman.
“Kalau dia tak ikut, ya sudahlah, kita mulai saja acaranya,” kata Rajab sambil membuka bungkusan kecil dari dalam kotak rokoknya. Pagi itu, Rajab, Muis, Ilham dan Syafei begitu gembira.
Palmerah, 22 November 2007
KOMENTAR ANDA