Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani perkara sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) kepala daerah akhirnya diragukan banyak pihak. Apalagi jika keputusan tersebut melibatkan Akil Mochtar yang tertangkap KPK dalam operasi tangkap tangan dugaan korupsi.
Dari sederet kasus sengketa Pilkada yang melibatkan Akil Mochtar itu, salahsatunya adalah sengketa Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 lalu.
Kuasa hukum Cagubsu Effendi Simbolon, Arteria Dahlan, mengungkapkan selama ini banyak pihak-pihak yang 'dipaksa' mengakui penegakan demokrasi versi MK. Meskipun berbeda pendapat putusan final dan mengikat itu dihargai sebagai bentuk penegakan demokrasi di Indonesia.
"Penangkapan kemarin kita sedih, terkejut, kecewa sekaligus marah. Karena selama ini kita sudah mencoba menjaga citra mahkamah (MK-red) sebagai mahkamah yang sakral dan dalam tempo sekejap hancur berantakan," kata Arteria Dahlan seperti dilansir MedanBisnis.
Arteria yang sudah berulang berhadapan dengan Akil dalam sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), mengatakan dalam berbagai putusan pihaknya dipaksa untuk menghormati putusan dari lembaga peradilan yang final dan tidak ada banding, meskipun pertimbangan itu justru dianggap sebagai kejahatan demokrasi dan tidak mencerminkan perbaikan demokrasi.
"Seperti sidang hasil Pilgubsu, sejak awal saya protes keras karena pertimbangannya sangat jauh dari fakta hukum dan tidak manusiawi," sebutnya.
Ia mengatakan, putusan MK terhadap sengketa PHPU Pilgubsu merupakan kehancuran demokrasi di Sumut.
Dia mencontohkan, secara materil pihaknya selaku pemohon sudah bisa membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks bantuan keuangan kepada kabupaten di Sumut. Dibuktikan juga adanya keterlibatan birokrasi, dimana sejumlah kepala daerah, SKPD, camat hingga kepala desa dan lurah. Rekaman video juga menunjukan adanya pemilih yang memilih lebih dari satu kali.
"Tapi, faktanya mahkamah tidak berani untuk mengadili, tetapi mencari justifikasi baru, mencari alasan yang mengatakan bahwa buktinya terlambat. Mana mungkin kami hadirkan bukti terlambat," sebutnya.
Dia mengatakan, barang bukti sudah dibawa ke ruang sidang, sedangkan Akil menyuruh untuk menyelesaikanya di panitera.
"Pak Akil sendiri yang memerintahkan penyerahan barang bukti di bawah. Kemudian dalam pertimbanganya justru keterlambatan yang menjadi kata pertama. Padahal, masa itu belum masuk kesimpulan. Artinya bukti masuk sebelum kesimpulan dan kami tidak terlambat. Memang tidak mau diperiksa fakta hukum itu," katanya dan mengatakan sengketa Pemilukada Medan 2010 hampir sama fakta hukumnya dengan Sumut.
Sebagai warga negara dan pencari keadilan, Arteria meminta MK mengakui kekeliruannya dan membuat suatu penetapan atau keputusan MK yang isinya mau mengkaji dan mengekseminasi putusan-putusan yang dianggap terdapat keraguan.
Dia juga meminta pemerintah secara sukarela mengeksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menyatakan putusan MK tidak sesuai. Artinya dalam penegakan hukum dan demokrasi harus ada sinergi dari lembaga peradilan. [ded]
KOMENTAR ANDA