MBC. Memang listrik byar-pet itu telah ’memantik’ rasa gusar yang sudah lama dipendam masyarakat. Hanya saja, luapan aspirasi emosi itu entah disalurkan ke mana warga sudah tak tahu. Nyaris signifikansi aksi itu tidak efektif untuk mengurangi pemadaman bergilir. Kecuali sekadar mempermalukan para petinggi perusahaan ‘plat merah’ itu.
''Sayangnya, rasa malu itupun kini makin menipis, seiring dengan tipisnya rasa tanggungjawab hukum dan moral para politisi negeri ini. Meskipun pemadaman bergilir telah diberitahukan kepada pelanggan tidak berarti petinggi PLN dapat memadamkan listrik begitu saja.''
Hal itu dikatakan Farid Wajdi SH MHum, Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) dalam siaran persnya yang diterima MedanBagus.Com tadi malam.
Seharusnya, menurut Farid, ada jadwal terukur, misalnya soal kapan, di mana dan berapa lama listrik di suatu kawasan dipadamkan. Kesalahan fatal pemadaman bergilir selain listrik padam adalah jadual giliran yang amburadul.
''Irama listrik ‘byar-pet’ harusnya dapat diakses pelanggan, sehingga dapat menyesuaikan agenda dan aktivitas kerja. Untuk kesekian kalinya petinggi PT PLN di regional Sumut ‘membohongi’ warga Sumatera Utara. Betapa tidak, dihadapan publik, mereka seolah berkomitmen tidak bakal ada lagi pemadaman bergilir pascaramadan 1434 H. Belakangan deadline waktu November 2013 merupakan batas terakhir listrik ‘byarpet’ secara bergilir.''
Tetapi sekali lagi, sambung Farid, warga Sumut bakal gigit jari dan mengurut dada. Sekaligus tersandera untuk menelan pil pahit kebohongan perusahaan ‘plat merah’ bidang setrum itu.
Tegas Dekan Fakultas Hukum UMSU ini, pengalaman menunjukkan janji petinggi PLN selalu meleset.
''Sebab itu warga Sumut sebaiknya jangan terlalu banyak berharap agar tidak kecewa dan terus terluka. Masalahnya, selama ini realisasi kalau listrik tidak bakal byarpet lagi cuma isapan jempol belaka. Bahkan klaim aman dan tidak ada defisit untuk pelanggan umum, cuma sekadar aksesoris publikasi media. Betapa tidak, meski pelanggan sudah bosan dengan janji, masih ada secuil harapan dari petinggi PLN. Klaim dan janji itu merupakan dokumen hukum dan sosial yang harusnya dipertanggungjawabkan. Entah kecap apalagi yang mau dijual petinggi PLN. Defisit energi atau mental buruk? Kalau sudah mental buruk, sulit diperbaiki. Sebab sudah karatan. Lalu, belajar dari pola penanganan krisis listrik selama limabelas tahun belakangan, tampaknya masalah bakal makin rumit. Soalnya petinggi PLN telah jenuh dan tak mampu lagi mengatasi krisis listrik. Solusi cerdas dan terukur untuk menuntaskan krisis listrik tak kunjung terealisiasi.''
Dia menyebutkan, program sewa genset hanya sekadar program jangka pendek. Pilihan tambah daya dengan pembangkitan baru adalah pilihan mutlak.
''Karena itu percuma menunggu janji, toh yang ada tak lebih dari sekadar kebohongan belaka. Tak enaknya saat puncak krisis , petinggi PT PLN malah meminta agar masyarakat mendesak agar Inalum disulap menjadi pemangkitan lsitrik. Usulan yang mengesankan masyarakat dihadapkan dengan Inalum. Terkesan petinggi PLN lepas tangan dan menyembubikan fakta bahwa perusahaan telah dielola dengan manajemen salah urus.''
Selama ini, menurut dia, segudang apologi untuk alasan listrik padam dikemukakan PLN. Padahal, itu dilakukan hanya untuk membodohi dan mengulur waktu belaka. Tidak ada satupun ”resep” yang dapat mengobati krisis kronis sistem kelistrikan. Karenanya, pilihan mengganti petinggi PLN merupakan momen yang cukup tepat.
''Cuma, karena petinggi PLN dan pemerintah tidak memiliki ’sense of crisis’, semua sia-sia belaka. Krisis listrik sudah begitu kronis. Untuk mengelola listrik saat ini diperlukan tenaga segar, muda, jujur, andal dan bernurani. Jika tidak, Sumut hanya akan menjadi lumbung masalah seperti yang ada saat ini.'' [ded]
KOMENTAR ANDA