post image
KOMENTAR
MBC. KEBERADAAN masyarakat hukum adat akhir-akhir ini menjadi marak dan menarik diperbincangan oleh semua orang baik secara nasional maupun lokal apalagi pasca amar putusan Mahkamah Agung tentang Hutan Adat.

Padahal, pengakuan tentang keberadaan serta hak-hak masyarakat hukum adat telah jelas dan tercantum dalam konstitusi baik dalam UUD 45 Pasal 18 B ayat (2), ataupun Ketetapan–Ketetapan MPR, terlebih UUPA No 5 Tahun 1960 pasal 5 adalah produk hukum pertama kali yang menegaskan pengakuan terhadap peranan masyarakat hukum adat.
 
Pada tingkat tertentu pengakuan terhadap masyarakat hukum adat terkuras mulai dari potensi sumber daya alam sampai dengan seni dan budayanya dikomersilkan dengan dalih investasi dan kepariwisataan sementara hak-hak masyarakat hukum adatnya diabaikan (entah dimana?), dan hanya dinina bobokan dengan pengakuan yang serba semu dan serimonial dalam bentuk busana dan pencitraan.

Emosional terhadap ego personal dan ego parsial bermunculan dimana-mana untuk menemukan pengakuan siapa yang berhak dan siapa yang pantas. Orientasi kepada masa lalu tak habis-habisnya muncul dari para cerdik pandai dan tokoh-tokoh. Tetapi sesungguhnya, yang sangat penting bagi kita adalah bagaimana hak-hak masyarakat hukum adat bukan saja mendapat pengakuan tetapi bagaimana perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Hak ulayat masyarakat hukum adat menjadi perdebatan panjang. Sejak peruntukan hak ulayat tidak lagi berfungsi untuk  kepentingan sosial budaya masyarakat dan sumber kehidupan masyarakat hukum adat yang berkelanjutan untuk generasi mendatang, dan beralih kepada kepentingan ekonomi yang menggiurkan untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Tatanan hukum adat setempat terhadap hak ulayat pun diabaikan dengan segala argumentasi pruduk hukum yang menimbulkan konflik kepentingan.

Konflik bukan saja antara pemerintah dan masyarakat bahkan antara satu klanpun telah terjadi sehingga membawa mereka kepada perselisihan dan konflik, tanpa berpikir bahwa tanah adalah sumber kehidupan masyarakat kita yang agraris dan berkelanjutan untuk anak cucunya.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara yang diamanatkan dalam UUD 45  untuk menguasai dan mengatur peruntukan terhadap sumber kehidupan yang terkandung dalam bumi, air dan kekayaan alamnya telah lalai dan mengabaikan begitu saja kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang berkelanjutan. Pemerintah juga menggadaikan diri kepada investor yang oleh sementara orang dianggap sebagai Dewa dan Tuhan yang dapat menentukan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pada sisa-sisa yang sedikit ini, hak-hak ulayat tidak lagi dimiliki, tergadai entah sampai waktu kapan oleh spekulan yang berlindung di balik ketokohan adat dan korporasi, seni dan budaya yang dikomersilkan dan dipoles dengan memberikan rasa kebanggaan parsial tetapi eksistensinya dibiarkan begitu saja sampai akhirnya punah. [***]

Wan Mauli
Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang-Lampung

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas