MBC. Pengakuan KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengenai Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) yang masih 'kotor', karena adanya 1,8 juta pemilih ganda otentik dan 1,6 juta pemilih di bawah umur pada satu sisi menunjukkan transparansi KPU, namun pada sisi lain memperlihatkan urgensi perbaikan kinerja KPU.
Untuk itu, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia mendesak KPU segera memberi klarifikasi mengenai jumlah pemilih yang masuk DPSHP sampai tanggal 26 Agustus sebanyak 173.050.362 jiwa, atau sekitar 92 persen dari DPS secara nasional, termasuk sejauh mana langkah yang ditempuh untuk mengatasinya dalam waktu singkat.
Koordinator Kajian KIPP Indonesia, Girindra Sandino mengatakan, ketidakakuratan DPT membuka peluang besar bagi terjadinya kecurangan pemilu (electoral fraud). Oleh karena itu, Bawaslu dengan jajarannya ke bawah serta organisasi/LSM pemantau pemilu harus terus mengawasi dan mengkritisi penyusunan DPT yang bermasalah untuk mewujudkan kualitas demokratik dan legitimitasi pemilu legislatif 2014.
"Bila ketidakberesan Daftar Pemilih tidak terselesaikan sampai adanya pengumuman DPT, demi menegakkan pemilu jujur dan adil, dapat ditempuh langkah hukum gugatan warganegara (citizen lawsuit) terhadap KPU atau langkah lain seperti meminta Komnas HAM untuk melakukan investigasi seperti pada pemilu 2009 yang lalu," ujar Sandino dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/9/2013).
Menurut dia, tanggung jawab terhadap masalah ketidakberesan penyusunan DPT tidak dapat dibebankan kepada masyarakat atau parpol yang dinilai tidak maksimal memberikan masukan dan tanggapan terhadap Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP).
"Tanggung jawab menyeluruh dan final berada di tangan KPU," terangnya sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online.
Apabila ketidakberesan penyusunan DPT tidak dibenahi, maka jelas telah terjadi cacat administratif dan cacat politik dalam pemilu serta kegagalan perlindungan hak sipil-politik fundamental warganegara
Masih kata Sandino, pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2009 harus menjadi pelajaran bagi KPU sekarang dalam menyusun DPT. Komnas HAM pada pemilu 2009 menyimpulkan telah terbukti secara meyakinkan bahwa telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih secara massif dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009, 25-40 persen warganegara kehilangan hak pilihnya secara sistemik.
Dan perlu diingatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102 /PUU-VII/2009, 6 Juli 2009, jelas dinyatakan pertimbangan dengan merujuk Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari tahun 2004 yang telah menegaskan bahwa hak konstitusional warganegara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and rights to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warganegara. [ded]
KOMENTAR ANDA