Lagi-lagi, dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan peraturan aneh. Setelah wacana tes keperawanan menuai kontroversi, kali ini para siswa harus mencantumkan ukuran kelamin dan payudara siswa.
Hal itu terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Sabang, Aceh. Para siswa diwajibkan mengisi formulir tersebut dengan tujuan untuk data kesehatan anak.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) akan melayangkan surat untuk Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Gubernur Aceh dalam rangka meminta penjelasan terkait pencantuman ukuran kelamin siswa.
“Kami akan tulis surat untuk tidak dilanjutkan dan harus ada evaluasi dari Gubernur Aceh,” kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait.
Arist mengaku belum tahu apakah kuisioner itu merupakan kebijakan sekolah atau Dinas Pendidikan yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat.
“Belum kami konfirmasi soal itu, tapi tampaknya mereka saling cuci tangan,” timpalnya.
Lanjutnya, masalah kuisioner itu harus segera dijelaskan dan dihentikan supaya tidak berlarut-larut.
“Agar tidak semakin keruh. Itu pelecehan luar biasa, mengajarkan yang tidak baik,” katanya.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, kebijakan tersebut dinilai tak relevan dengan dunia pendidikan lalu untuk apa dilakukan.
“Apa dasarnya siswa baru diharuskan mengisi data semacam itu. Ini kan sama saja dengan wacana tes keperawanan yang sempat dilontarkan,” kritiknya.
Retno menilai, seharusnya para pendidik di negeri ini lebih memikirkan tentang bagaimana memajukan pendidikan agar generasi bangsa punya kualitas mumpuni.
“Sangat tidak etis kalau sampai mempertanyakan ukuran organ vital, untuk apa itu,” cetusnya.
Dia menambahkan, munculnya hal-hal ‘nyeleneh’ di dunia pendidikan menunjukan bahwa pendidikan kini banyak dipegang oleh orang-orang yang tidak mengerti artinya kemajuan pendidikan bagi bangsa.
“Akan berbahaya sekali jika hal semacam ini dibiarkan, bukannya mencari cara supaya pendidikan negeri ini bisa maju malah melakukan keanehan yang tidak ada relevansi dengan pendidikan,” kritiknya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ibnu Hamad menyatakan, pengisian kuisioner tersebut berlebihan. Aturan tersebut bukanlah program Kemendikbud.
“Itu melampaui batas, kuisioner tersebut tidak lazim digunakan,” katanya.
Dia merasa pengumpulan data ukuran kelamin siswa yang mengatasnamakan tes kesehatan reproduksi itu tidak diperlu. “Masuk ke pendidikan kedinasan saja tidak segitu-segitu amat tesnya,” tegasnya. [hta]
KOMENTAR ANDA