MBC. Para pencari kerja di Indonesia akan semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Pasalnya pertumbuhan upah minimum yang semakin tinggi dan industri tidak mampu melanjutkan usahanya.
Menurut Vivi Alatas, Senior Economist World Bank, semakin sedikitnya jenis pekerjaan formal mengakibatkan informalitas meninggi atau pekerja sektor informal semakin banyak.
"Kebijakan minimum wage [upah minimum] dalam status quo merugikan semua pihak, baik itu pekerja, pemberi kerja dan juga pekerja informal," katanya saat Seminar Tenaga Kerja dan Upah Minimum yang diselenggarakan CSIS (Center Strategic and International Studies) di Jakarta, Kamis (5/9/2013).
Maka dari itu, Vivi menambahkan kini, baik pekerja maupun pemberi kerja atau pengusaha dihadapkan dengan kondisi ketidakpastian yang tinggi.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas Rahma Iryanti mengakui pada 2001-2004 terdapat pengurangan pekerja formal di industri sekitar 0,8 juta orang. Selama 2005-2008, dia menjelaskan terdapat pula pengurangan 0,9 juta orang pekerja, sedangkan pada 2010 sampai dengan 2012 ada peningkatan jumlah pekerja formal sekitar 2,6 juta orang.
Melihat kondisi itu, Presiden Korean Chambers of Commerce in Indonesia C.K. Song menuturkan semua elemen masyarakat di Indonesia harus bersatu menyelamatkan sektor industri, terutama padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.
"Dalam kondisi ketidakpastian itu diperlukan solusi menyerap tenaga kerja, karena meski banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia, tapi jika tidak dimanfaatkan, tidak ada gunanya," terangnya.
Sementara itu, peneliti CSIS Haryo Aswicahyono, sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online mengatakan, ekonomi Indonesia tidak mampu menciptakan lapangan kerja dan hampir semua penelitian tentang ketenagakerjaan di negara ini memberi kesimpulan yang sama. Menurut dia, kesimpulan itu adalah kemampuan ekonomi Indonesia menciptakan lapangan kerja terus menurun dan upah pekerja meningkat pesat akan semakin mengurangi kemampuan negara menciptakan lapangan kerja.
CSIS mencatat kenaikan upah minimum di Indonesia terpesat di kawasan (2010-2013) atau naik 30 persen jauh lebih tinggi dari peningkatan upah negara-negara lain di kawasan. "Peningkatan upah minimum Indonesia dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan upah di Thailand," ungkapnya.
Dia memaparkan bahwa upah minimum di Tanah Air naik rata-rata 12,8 persen per tahun, sedangkan produktivitas pekerja hanya naik 3,4 persen per tahun. Akibatnya, lanjut Haryo, pesatnya kenaikan upah minimum yang tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas, maka biaya tenaga kerja per unit produksi meningkat 9,4 persen per tahun atau 3,5 kali lipat dalam 10 tahun.
Sementara itu, A. Prasetyantoko, Pengamat Ekonomi dari Universitas Atmajaya menegaskan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang mulai berlaku awal 2013 menimbulkan implikasi yang kompleks. "Implikasi tersebut terutama di sektor industri padat karya dan banyak yang memillih mengurangi pekerjanya atau tutup sama sekali," katanya.
Padahal, dia menilai industri sektor padat karya masih dipelrukan dalam rangka menyerap tenaga kerja dengan latar belakang rendah, serta jumlah pengangguran yang tinggi. Keberadaan industri padat karya juga sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pembangunan, memperkecil dan mengangkat penduduk dari garis kemiskinan.
"Karena itu, kebijakan menaikkan upah minimum provinsi mestinya ditempatkan dalam kerangka kebijakan industri dan kerangka kebijakan makro yang komprehensif, serta tidak parsial."[ded]
KOMENTAR ANDA