Aksi penembakan misterius (petrus) makin marak di Indonesia. Setidaknya selama 45 hari terakhir sudah terjadi 20 kasus penembakan misterius. Mirisnya, Polri nampak tidak berdaya mencegah dan menangkap para pelakunya. Lantaran dari semua kasus itu Polri hanya mampu menangkap satu pelaku, yakni di Polres Boyolali, Jateng.
Indonesia Police Watch (IPW) mendata, aksi petrus terjadi mulai dari Aceh hingga Papua. Dari 20 kasus petrus tersebut, 10 kasus terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Sasarannya, 10 mobil, 3 halte busway, 1 rumah polisi, 4 polisi ditembak, 1 penembakan pada TNI, dll.
"Akibatnya 3 orang luka dan 5 tewas, tiga di antara yang tewas adalah polisi. Ironis memang, di negeri ini makin banyak "koboi" yang main tembak sembarangan," ujar Ketua Presidium IPW Neta S Pane dalam siaran persnya, Minggu (1/9/2013).
Kata dia, aksi main tembak ini terjadi akibat dua hal. Pertama, pemerintah sangat permisif terhadap keberadaan senjata api di kalangan sipil dan tidak ada kebijakan untuk memberantas secara total. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang memungut PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) bagi warga sipil yang memegang senjata api.
Akibatnya, masih lanjut Neta, keinginan warga sipil memiliki senjata api kian tinggi. Sehingga aksi penyelundupan senjata api ke Indonesia kian deras dan produksi senjata api rakitan kian diminati banyak orang. Sikap permisif pemerintah terlihat pula dari pembiaran pada keberadaan airsoft gun. Senjata mainan yang kian mirip dengan senjata orisinal maupun organik itu dibiarkan bebas di pasaran.
Kedua, aparat kepolisian tidak serius dalam menindak warga sipil yang memegang senjata ilegal. Mantan pejabat yang sewenang-wenang dengan senjata apinya tidak diproses secara hukum dan cenderung dibiarkan. Ketika polisi tidak mau memberikan kepastian hukum, rakyat pun kian nekat main hakim sendiri dan melakukan aksi koboi di jalanan.
"Jika pemerintah dan polisi tidak tegas dalam melakukan penegakan hukum, aksi main tembak di jalanan akan terus berkembang di negeri ini," pungkasnya.[rmol/hta]
KOMENTAR ANDA