Pelaksanaan konvensi oleh Partai Demokrat memiliki dua catatan penting yang harus segera diindahkan agar tidak menodai jalannya demokrasi negeri ini.
Demikian disampaikan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam diskusi 'Konvensi: Audisi Penuh Teka Teki' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (31/8/2013).
Pertama, kata dia, bahwa mekanisme itu hanya bersifat kontekstual. Seharusnya, metode konvensi dilakukan untuk menjaring tokoh internal partai atau tokoh independen yang tidak memiliki partai.
"Konvensi ini bukan sebenarnya, jadi konvensi itu lebih diperuntukkan untuk calon-calon internal," ujarnya.
Siti menjelaskan, konsep konvensi seharusnya juga dilakukan dengan format bawah ke atas (bottom-up). Yakni seorang tokoh diadukan dalam tingkatan desa atau yang paling bawah, kemudian setelah menang dilanjutkan lagi dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi hingga skala nasional.
Catatan kedua, masih lanjut Siti Zuhro, ditandai dengan adanya undangan panitia konvensi kepada dua kader partai lain. Tindakan ini menunjukkan bahwa Ketua Majelis Tinggi Demokrat SBY tidak ingin melepaskan pengaruhnya dalam partainya itu.
"Pak SBY tak mau kehilangan peran untuk jadi kingmaker, karena sudah tidak bisa jadi king lagi," tambah Siti.
Selain itu, undangan untuk mengikuti konvensi Demokrat terhadap kader dari partai lain juga dinilai melanggar kode etik partai dan menciderai demokrasi serta semangat persatuan.
"Ini menerobos sekat-sekat partai lain. Kita senang kalau calon independen (yang diundang) tapi jangan kader partai lain, (seperti) devide et impera. Itu melanggar etika politik. Yang dilanggar itu etika, berkonvensi tapi minus etika politik," pungkasnya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA