"MALAM ini saya berdiri di depan segenap bangsa, rasanya saya tidak bisa mengangkat kepala karena menahan malu. Saya malu dan merasa bersalah karena tidak mampu mengawasi putra-putra saya secara tepat."
Demikian suara lirih Presiden Korea Kim Dae Jung yang juga Ketua Partai Demokratik Milenium jelang akhir masa jabatannya sekitar tahun 2002.
Pernyataan itu, seperti disiarkan Rakyat Merdeka Online, disampaikan berkaitan dengan kasus pengadilan dua putra Kim, Hong-up dan Kim Hong-gul. Keduanya dibawa ke ruang pengadilan dengan tangan diborgol.
Mereka ditangkap dan ditahan atas tuduhan menerima suap sekitar 4,8 miliar Won atau sekitar Rp37 miliar.
Dengan menjajakan pengaruh sebagai putra Presiden, Hong-up menerima suap yang sering diserahkan pengusaha dengan kamuflase berupa bingkisan hadiah. Sementara adiknya, Kim Hong-gul, diseret ke pengadilan atas tuduhan menerima suap 3,5 miliar Won atau sekitar Rp26 miliar.
Presiden Kim tidak berusaha mempengaruhi proses pengadilan. Dalam budaya Timur yang antara lain berciri paternalistik, Presiden Kim dalam posisinya sebagai penguasa mempunyai peluang besar mempengaruhi proses pengadilan. Namun, itu tidak ia lakukan. Maka proses pengadilan dua anak Presiden Kim diyakini memperkuat sistem hukum Korsel yang semakin tidak pandang bulu.
Dampak negatif atas skandal korupsi Hong-up dan Hong-gul merusak citra Partai Demokratik Milenium (PDM) pimpinan Kim Dae-jung. Sekjen PDM Kim Won-gil pun mengajukan pengunduran diri.
Akhir masa jabatannya di tahun 1997, Presiden Kim Young-sam juga menghadapi musibah serupa. Waktu itu putera keduanya, Kim Hyun-chul, ditahan untuk kasus suap dan penggelapan pajak. Kasus ini sampai ke pengadilan. Hyun-chul dihukum tiga tahun penjara dan denda sekitar 2 miliar Won atau sekitar Rp15 miliar.[ded]
KOMENTAR ANDA