SENJA menggantung. Lelah masih terasa. Di luar hujan baru saja reda mendera. Lelaki itu masih berdiri terpaku di depan jendela menghadap ke arah rinai hujan yang turun bak mitraliur. Sesekali dihisapnya sepotong tembakau menyala yang dijepit jarinya. Tangannya masih digendong. Lelaki itu asik merayakan kebebasanya. Namun kelebat bayangan seorang perempuan muncul di depan pintu. Lelaki itu membuang muka ke arah itu.
"Belum mandi juga?"
Yang ditanya hanya mendehem dan kembali menghisap asap tembakaunya.
"Aku mau berdiri di sini, sampai nanti, sampai aku muak dengan hujan ini," ujar lelaki itu.
Memang biasanya setiap hujan turun di akhir senja lelaki itu akan berada di depan jendela, untuk waktu beberapa lama. Entah harus bagaimana dia menamakan perasaannya. Sedih kah? Atau bahagia kah?
"Sudahlah, tak usah dipikirkan lagi, ayo mandi, ikut aku, sirkusnya sudah dimulai tuh," kata sang perempuan sambil mengenakan beha dan membalut tubuhnya dengan kaos dilapisi jaket. Serta jilbab hitamnya kemudian menutup seluruh rambut.
Lelaki itu masih mematung. Matanya masih menari di tengah curah hujan yang enggan turun dan enggan pula berhenti. Dia masih asik merayakan kemerdekaannya. Merayakan kebebasan pikirannya.
Farida, perempuan itu kemudian berlalu ke arah pintu.
"Sampaikan saja salamku pada gajah dan beruk yang beraksi malam ini," ujar lelaki itu. Farida mengangguk, ditahannya senyum, dia sudah paham dengan kebiasaan lelaki itu ketika senja dilumuri hujan.
Lelaki itu kembali hening dalam sepi yang abadi. "Sudah Desember lagi," gumamnya pada diri sendiri. Lelaki itu kemudian bergeser kepada kalender yang menggantung di atas meja kerjanya. Sambil kembali melempar pandang ke arah hujan, lelaki itu mulai mengenang.
"Sampai kapan kau sembunyi?" bisiknya kepada dinding-dinding dingin.
Hujan masih menggantung. Meski gelap telah menyergap, namun malam dingin tetap gegap gempita. Sirkus dimulai, tabuh dipukul, gajah beraksi, beruk menari.
"Aku tak pernah memberontak. Tidak. Bahkan pada diriku sendiri!" ujar lelaki itu. Sementara suara letusan kembali terdengar dari balik dinding ruangan.
"Ini tanah kami, sebelum akhirnya kalian datang membakarnya,"
"Subversif! Tambah daya stroomnya!" teriak seseorang berseragam.
Kemudian lelaki itu menggigil nyeri. Darahnya berhenti. Tapi kemudian orang-orang berseragam itu dengan ringan melayangkan tinju kepadanya. "Jadi dimana Omar Puteh si raja tega itu?"
Belum jelas kalimat itu terdengar lelaki itu kembali menerima tinju. Tubuhnya berguncang di atas kursi yang dialiri listrik. Lelaki itu mati akal. Luka dan bisa tak lagi bisa ditanggungnya. Dia hampir mati tapi orang-orang itu tak menghendakinya. Dia sudah putus asa. Dia ingin menyerah. Tapi menyerah dari apa? Bukankah menyerah adalah perbuatan orang kalah. Tidak lelaki itu tidak kalah. Meski nyatanya dia dikurung di dalam sebuah rumah gedung yang dijadikan markas penyiksaan bagi setiap orang yang dianggap melakukan pembangkangan, tapi lelaki itu tidak kalah.
Maka tinju kembali dihujani. Suara raungan lelaki itu tenggelam oleh lumatan hujan. Dia tersayat. Tubuh dan hatinya remuk redam dimakan dendam. Dia harus mengatakan sebuah persembunyian, atau dia akan terus dijadikan sasaran tinju dan sengatan listrik mematikan.
"Aku menjadi cuak. Iya. Aku memilih jadi cuak. Terus kenapa? Apa yang salah? Ini semua tak seperti yang dibayangkan. Aku mau mati. Tapi tak bisa. Setelah semua ini. Semua identitas dan topeng palsu ini. Aku harus hidup, meski memendam kekalahan sepanjang hayat. Aku tak mau jadi cuak, tapi keadaan memaksaku menjadi cuak. Oh Hujan, bagaimana aku harus mejelaskan pada Tuhan?"
Hujan terus turun. Sesekali tempiasnya menembus masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu masih berdiri dan berlari-lari di dalam ingatan-ingatan masa silam.
"Akhirnya rumah gedung itu binasa juga. Binasa pula segala kekejaman dan kekejian yang terjadi di dalamnya. Binasa bersama orang-orang tak bersalah yang binasa oleh para pembinasa yang haus darah kami," sungut lelaki itu. Mulutnya mengeluarkan asap. Asap yang keluar dari risaunya.
"Aku sudah memberitahukan dimana Omar Puteh berkubang, mengapa masih diburu dan dikejar?"
"Semua informasimu palsu, kami sudah ke tempat itu. Dan semua omong kosong!"
"Ha? Bagaimana? Bagaimana ini? Aku cuak. Mengapa ada cuak yang cuak padaku?"
Di langit Desember hujan tak berhenti mengguyur. Hujan di langit, hujan di hatinya. Lelaki itu hidup dalam perburuan yang paling agung. Bertahun-tahun dia hanya bisa menatap dunia dari balik jendela. Mendengar cerita dari Farida, istrinya. Bertukar kabar melalui alamat palsu, identitas palsu dan semua palsu. Meski keadaan berubah, lelaki itu sudah betah menjadi palsu.
"Aku suka dirimu yang dulu, luwes dan berpikir panjang. Kau juga suka menonton sirkus," ujar Farida suatu ketika.
Tetapi lelaki itu akan terus menjadi palsu. Dia tak bisa hidup di dalam alam merdeka. Karena semua orang menganggap dia penghianat yang bersembunyi di balik luka. Dia masih terkepung dan terkurung di dalam pikirannya. Dia hanya merasa merdeka setiap kali memandang hujan yang turun di senja hari dari balik jendela. Kesempurnaan kemerdekaan itu kian lengkap bila Desember singgah di hidupnya.
Sekarang, rumah gedong memang sudah hancur. Tapi belum bisa mengobati luka-luka dan semua kehilangan.
Pukul sembilan malam hujan reda. Farida muncul dan melintas di luar jendela.
"Sirkusnya membosankan, tak ada beruk yang menggaruk-garuk ataupun gajah yang duduk menengadah. Polisi membubarkan paksa acara dengan alasan seorang teroris lepas di sana. Hah…" desah kesal Farida.
Lelaki itu tersenyum kali ini. Dia tak tak lagi berdiri menghadap jendela. Dia terus asik mengetik. Memandang kosong noteboknya, sambil sesekali menyeringai. "Palsu" makinya pada entah.
Perbatasan Aceh, 4 Desember 2009
KOMENTAR ANDA