MBC. Meski besaran harga tiket Airport Railink Service (ARS) menuju bandara Kualanamu yang dipatok sebesar Rp80.000 menuai protes konsumen. Namun PT Railink mengaku tak menemui keluhan tentang tarif harga itu.
''Masyarakat boleh berbicara, tapi pada dasarnya kita tidak menangkap adanya permasalahan mengenai harga tiket sebesar Rp80.000 sejauh ini,'' kata General Manager PT Railink, Bodhaswara Setiawan Jusri di konter ticketing ARS di sebelah Stasiun Kereta Api reguler Medan, Jalan Stasiun Kereta Api Medan, kemarin.
Bhodas juga menyampaikan, secara berproses lambat laun masyarakat menyadari keberadaan ARS adalah salah satu pilihan transportasi menuju Kualanamu International Airport (KNIA) di samping banyak pilihan lain seperti bus dan taksi.
''Jadi, tidak ada paksaan karena banyak pilihan transportasi lain seperti bus dan lain-lain bahkan taksi gelap juga ada yang menawarkan jasa perjalanan menuju ke sana,'' ujarnya seperti dikutip dari liputanbisnis.
Sementara itu Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi, menyebutkan, penetapan tarif ongkos yang dibuat PT KAI dan PT Railink dari Stasiun Besar Kereta Api (KA) Medan kawasan Lapangan Merdeka Medan menuju Bandara Internasional Kualanamu, Deliserdang, sebesar Rp80.000/kursi sekali jalan, terlalu memberatkan.
Sebab itu, perlu diturunkan agar lebih terjangkau apalagi struktur atau proses menghitung biaya yang dirancang tersebut tidak transparan dan berpotensi merugikan hak konsumen.
Misalnya apakah dengan jarak tempuh yang sesuai dengan besaran tarif dasar, tarif jarak, dan tarif pelayanan tambahan, lalu kemudian muncul angka Rp80.000 itu.
Dia mengatakan, secara matematis biaya yang dikeluarkan dengan jarak tempuh Rp80.000 dibagi 29 km maka rata-rata penumpang harus membayar lebih kurang Rp2.760 per kilometer, sedangkan waktu tempuh yang dibayar penumpang, Rp80.000 dibagi 40 menit yaitu Rp2.000 per menit, angka yang cukup besar dan menguras kantong pengguna.
Terlebih masyarakat masih sangat tergantung pada jalur kereta api mengingat jalan tol dan jalan arteri non-tol menuju bandara pengganti Bandara Polonia ini, belum maksimal. Filosofi KA bersifat angkutan massal, mengurangi biaya BBM, menekan kemacetan, dan alternatif transportasi dengan biaya relatif terjangkau.
''Logika penetapan tarif KA merampas hak masyarakat untuk mendapatkan harga yang terjangkau. Betapa tidak KA menggunakan rel, gerbong dan akses jalan yang selama ini sudah digunakan untuk melayani publik. Lalu apa sebenarnya logika pengelola memakai asumsi harga Rp80.000 itu?'' sebutnya.
Tidak ada pilihan lain kata Farid, pengelola KA dan pemerintah harus menurunkan tarif KA.
Alasan penentuan tarif dengan cara merumuskan patokannya dengan sejumlah kota-kota yang telah memiliki fasilitas serupa, seperti Bandara Suvarnabhumi di Bangkok, Thailand dan Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Kuala Lumpur, Malaysia adalah cara berpikir yang liar dan tidak logis.[ded]
KOMENTAR ANDA