Peran Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dinilai terlalu mendikte dan mengekang bangsa Indonesia. Terdapat sedikitnya tiga parameter yang menguatkan hal tersebut.
Pertama, WTO sangat giat menggalakkan implementasi perjanjian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi anggotanya, termasuk Indonesia.
"Dengan adanya HAKI ini, para petani kita bahkan tidak akan boleh memproduksi bibit padi sendiri. Karena bibit itu sudah dipatenkan. Jadi kita tidak bisa berbuat macam-macam. Kita harus tunduk dengan HAKI ini," tandas aktivis Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng dalam diskusi 'ASEAN, APEC, WTO dan Masa Depan Indonesia' di Kantor PB PMII, Jl. Salemba Tengah, Jakarta Pusat, Sabtu sore (3/8/2013).
Bukti kedua adalah penekanan terhadap pencabutan hambatan tarif dan bea masuk bagi barang impor. Dengan begitu kata Daeng, segala barang dan komoditas lainnya yang masuk ke Indonesia tidak akan dikenai biaya masuk atau tarif pajak.
"Kalau ini terjadi, beras bisa diimpor tanpa bea masuk. Dan karena beras impor lebih murah daripada beras lokal, petani kita tidak akan mampu bersaing. Jadi petani kita akan kekurangan pendapatannya," lanjutnya.
Sedangkan yang ketiga, WTO mempromosikan liberalisasi sektor jasa, baik itu pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dan sebagainya. "Kalau sudah begini, semua sektor kehidupan kita sudah diatur. Semua sekolah, rumah sakit kita semuanya sudah dikuasai oleh asing," tambah Daeng.
Oleh karena itu, Daeng mengkritisi sikap Indonesia yang mendukung program-program WTO dan menjalankannya dengan patuh. Selain itu, Daeng juga menyayangkan keputusan Indonesia sebagai tuan rumah dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Oragnization/WTO) yang akan berlangsung pada 3-6 Desember mendatang. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA