Aksi salah tangkap yang dilakukan Densus 88 terhadap dua warga Tulungagung, Jatim, yakni Sapari (49) dan Mugi Hartanto (38) dikecam keras Indonesia Police Watch (IPW).
"Kasus salah tangkap di Tulungagung adalah salah satu bukti kekejian polisi, khususnya Densus 88," ujar Koordinator IPW Neta S Pane seperti yang dikatakannya kepada Rakyat Merdeka Online, Selasa (30/7/2013).
Jelas Neta, kasus ini tidak boleh ditolerir, lembaga-lembaga negara, seperti DPR dan Komnas HAM perlu mempersoalkan kasus ini secara serius, antara lain memanggil dan meminta pertanggungjawaban Kapolri dan Komandan Densus 88.
Selain itu kata Neta, korban harus melakukan tuntutan pidana dan perdata. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini yang bisa dituntut secara pidana adalah anggota Densus yang melakukan penangkapan dan penyiksaan, kemudian Komandan Densus di lapangan maupun Komandan Densus yang memerintahkan penangkapan.
"Mereka-mereka yang dituntut secara pidana harus segera ditahan, mengingat penyiksaan ancaman hukumannya limatahun penjara," terangnya.
Sedangkan Kapolda dan Kapolri tambah Neta, bisa dituntut secara perdata. Dalam kasus salah tangkap di Inggris lima tahun lalu, Pengadilan memerintahkan polisi Inggris membayar ganti rugi sebesar Rp 15 miliar (jika dirupiahkan) kepada korban salah tangkap.
Tuntutan perdata dan pidana ini harus dilakukan korban. IPW kata Neta berharap ormas Muhammadiyah yang sejak awal membantu advokasi terhadap korban bisa segera mengajukan tuntutan perdata dan pidana agar ada pembelajaran pada polisi maupun Densus 88 agar tidak bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan tugas. Apalagi dalam kasus Tulungagung, Mabes Polri sempat merilis sedemikian rupa, yang memaparkan seolah-olah korban adalah teroris benaran.
"Pernyataan Humas Mabes Polri tersebut merupakan pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter bagi korban," tegasnya.
Neta berharap, Kapolri dan Humas Mabes Polri berjiwa besar untuk meminta maaf kepada korban. Wilayah Polda Jatim belakangan ini banyak terjadi aksi salah tangkap. Setidaknya ada lima kasus salah tangkap yang menimbulkan kontroversi di Jatim. Kasus Tulungagung menunjukkan betapa buruknya kinerja Densus 88 dan Intelijen Kepolisian. Informasi Intelijen yang tidak akurat ditelan mentah-mentah dan melakukan penangkapan dan penyiksaan secara membabi buta terhadap korban.
"Kasus malpraktek yang dilakukan Polri dan Densus ini sangat menakutkan publik serta mencederai rasa keadilan masyarakat," ungkanya.
Belajar dari kasus ini tambah Neta, sudah saatnya Kapolri mengevaluasi kinerja Densus 88 dan sudah saatnya kalangan DPR, Komnas HAM dan komponen-komponen masyarakat lainnya mengontrol secara ketat sikap, prilaku, dan kinerja Densus 88. "Jika kontrol ketat ini tidak dilakukan, dipastikan Densus 88 akan semakin sewenang-wenang dan kasus salah tangkap terus terulang," pungkasnya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA