Banyaknya gelandangan dan pengemis (gepeng) menyerbu Ibukota Jakarta di bulan Ramadhan bukan sekedar rutinitas tahunan. Mereka datang ke Jakarta atau kota-kota besar lainnya karena tahu setiap menjelang Idul Fitri penghasilan yang didapat meningkat.
"Jika kita kaji fenomena gepeng itu merupakan salah satu representasi dari belum terimplementasinya demokrasi ekonomi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita," ujar Sosiolog Unas Nia Elvina, Senin (22/7/2013).
Dia menjelaskan, gepeng yang datang dari daerah-daerah pada umumnya tidak berpendidikan dan tidak punya hard skill, sehingga jalan satu-satunya untuk mendapatkan uang atau cara berekonomi adalah dengan mengemis. Di daerah tempat asalnya, mereka adalah buruh tani atau nelayan, tidak punya lahan ataupun kapal yang layak untuk menangkap ikan.
"Fenomena meningkatnya gepeng ini sebenarnya bukan fenomena rutinitas Ramadhan. Tetapi, lebih mendalam dari itu cermin dari kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih sangat tinggi di negara kita," kata Nia.
Menurut peneliti di Selo Soemardjan Institute tersebut, pemerintah dan para legislator seharusnya segera berpijak kembali ke konstitusi dan Pancasila dalam mengkontruksi kebijakan. Serta segera melaksanakan demokrasi ekonomi.
Pasalnya, lanjut Nia, selama ini pemerintah tendensinya dalam mengelola negara tidak sungguh-sungguh untuk mewujudkan cita-cita sosial, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Hal itu terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan, hampir tidak berpihak kepada masyarakat kelas bawah.
"Seharusnya pengelolaan negara dibuat plan sesuai tuntutan zaman, manajerial society. Kemajuan masyarakat atau pencapaian cita-cita harus dibuat rencananya mungkin Repelita yang berdasarkan konsep demokrasi ekonomi. Sehingga, daerah-daerah menjadi produktif, kebijakan land reform ataupun kapal untuk nelayan, kemudian koperasi itu menjadi prioritas. Jika hal ini dilaksanakan saya kira jumlah gepeng bisa diminimalisir bahkan kita hilangkan," jelas Nia. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA