Aturan mengenai Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pekerja dinilai sudah tidak relevan karena menginduk pada UU lama.
Didasari alasan inilah, anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mendesak pemerintah segera merevisi aturan THR pekerja. Selama ini ketentuan mengenai THR diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja 4/1994. Padahal Permen tersebut masih menginduk pada UU pokok ketenagakerjaan 14/1969 yang sudah dicabut dan digantikan dengan UU baru, yakni UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan.
Kelemahan utama dalam Permen lama tersebut adalah kekosongan sanksi apabila perusahaan melanggar ketentuan THR yang wajib dibayarkan kepada pekerjanya. Pasal 8 Permenaker nomor 4/ 1994 menyebut, pelanggaran atas ketentuan THR diancam dengan hukuman sesuai pasal 17 UU 14/1969. Sedangkan UU tersebut sudah tidak berlaku lagi.
"Akibat kondisi tersebut, maka pengusaha memang diwajibkan memberi THR kepada pekerjanya, tetapi tidak ada sanksi bila tidak memberi THR, atau jumlahnya tidak sesuai, atau waktu pemberiannya mepet," bebernya melalui rilis yang diterima redaksi, Minggu (21/7).
Pelanggaran THR menurut Zuber terdiri atas tiga pokok, yakni (1) tidak diberi dengan rekayasa (akal-akalan), (2) jumlahnya tidak sesuai ketentuan, dan (3)waktunya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pelanggaran pertama marak dilakukan oleh perusahaan alih daya (outsourcing) dan perusahaan yang mempekerjakan pekerja waktu tertentu (kontrak).
"Mereka banyak memberhentikan kontrak pekerjanya sebelum hari raya untuk menghindari pembayaran THR, padahal kerap mengangkat mereka kembali setelah lebaran," terangnya.
Atau, lanjut Zuber, mereka yang tidak dibayarkan THRnya dengan alasan masih dalam tahap masa percobaan. Padahal ketentuan Permenaker 4/1994, menyebut pekerja yang masih bekerja di bawah masa kerja 12 bulan tetap mendapat THR dengan besaran proposional sesuai masa kerjanya.
Pelanggaran kedua, yakni soal besaran THR. Dalam permenaker 4/1994, setiap pekerja berhak atas THR dengan besaran satu (1) bulan gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap. Di lapangan banyak kasus THR hanya dibayar sebesar gaji pokok saja, tanpa tunjangan tetap. Selain itu, ketentuan gaji pokok ini seharusnya mengacu pada upah minimum. Karena dalam UU ketenagakerjaan 13/2003, pengusaha dilarang membayar pekerja di bawah upah minimum.
Pelanggaran ketiga adalah soal waktu pembayaran THR. Permenaker 4/1994 mewajibkan pengusaha membayarkan THR maksimal H-7 sebelum lebaran. Tapi kenyataannya banyak pekerja dibayarkan THR H-2 atau bahkan H-1 sebelum lebaran.
"Namun, yang paling parah adalah ketentuan tersebut mandul karena sanksinya tidak jelas, pemerintah hanya bisa maksimal menghimbau, tanpa bisa menindak, seharusnya kondisi ini tidak dibiarkan berlarut," demikian Zuber.[rmol/hta]
KOMENTAR ANDA