Selain tidak disertai dengan naskah akademik, RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (PPH) yang dalam sidang paripurna kemarin disahkan menjadi UU, terlihat jelas mau memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan di dalam satu perundang-undangan.
Hal ini, kata Siti Rahma Mary dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan, akan berdampak buruk ketika tidak ada harmonisasi antara UU PPH dengan peraturan lainnya di sektor kehutanan. Disharmonisasi yang paling mudah dilihat adalah
tidak diperhatikannya definisi Kawasan Hutan dalam UU ini.
Padahal, katanya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, MK telah membatalkan definisi "Kawasan Hutan" dalam UU No 41/1999. Namun definisi kawasan hutan yang telah dibatalkan tersebut masih digunakan dalam UU ini.
"Selain putusan MK tersebut, UU PPH menambah tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan, dan justru menjadikan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi sulit dilakukan," kata Siti Rahma Mary, kepada Rakyat Merdeka Online, Rabu, (11/7/2013).
Selain itu, lanjutnya, DPR dan pemerintah juga tidak memperhatikan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang telah memutuskan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara dan masuk ke dalam golongan hutan hak. Padahal kenyataannya di lapangan, masih banyak hutan-hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Karena itu UU ini tidak bisa diberlakukan terhadap kawasan hutan yang belum jelas kepastiannya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA