Indonesia Corruption Watch (ICW) menggunakan lima indikator dalam menentukan nama-nama calon legislatif (caleg) yang komitmen antikorupsinya dianggap lemah. Jika indikator ICW tersebut digunakan dalam lingkup politik Sumatera Utara, akan ditemukan banyak caleg yang terjerat.
Lima indikator tersebut, Pertama, namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan JPU terlibat serta atau turut menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi. Kedua, bekas terpidana kasus korupsi.
Ketiga, pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR. Keempat, mengeluarkan pernyataan di media yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi dan kelima, mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan lembaga tersebut.
Berangkat dari indikator, khususnya indikator pertama, hampir bisa dipastikan jika banyak politisi di Sumatera Utara masuk dalam kategori tak layak dipilih lagi.
Persoalannya, krisis korupsi yang terjadi di Sumatera Utara juga akibat ulah para wakil rakyat yang ikut menyalahgunakan fungsi hak konstitusi, legislasi (membuat peraturan daerah), budgeting (menyusun anggaran) dan controlling (mengawasi kebijakan eksekutif).
Hak konstitusi yang besar dimiliki lembaga wakil rakyat itu dimanfaatkan untuk melakukan konspirasi jahat dengan pihak eksekutif. Hak yang semestinya ikut mengatur jalannya pemerintahan, justru menyeret para penyelengga negara dalam pusaran penjara.
Kasus yang paling diingat saat perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan dan pengelolaan kas daerah Kabupaten Langkat serta penyalahgunaan APBD Langkat tahun 2000 sampai dengan 2007 atas nama Bupati Syamsul Arifin.
Dalam persidangnya, dari 270-an saksi yang dihadirkan KPK, 15 diantaranya merupakan anggota DPRD Langkat periode 1994-2004. Mereka mengakui pernah menerima uang dan mobil Panther dari Syamsul Arifin.
Tak cuma mantan anggota DPRD Langkat, dua anggota DPRD Sumut yang kini aktif juga ikut menjadi terperiksa KPK. Keduanya adalah ER merupakan politisi dari PDIP dan NA politisi dari PPP.
Keduanya anggota dewan dari daerah pemilihan Binjai-Langkat. Sebelum menjadi angota DPRD Sumut, NA tercatat sebagai anggota DPRD Langkat, saat Syamsul Arifin menjadi Bupati di sana.
Bahkan ada anggota DPR-RI pemilihan Sumatera Utara yang turut dipanggil KPK sebagai saksi. Mereka adalah HM (Golkar) dan HA (PPP). Saat ini keduanya masuk daftar caleg di masing-masing partainya.
Sementara untuk kasus suap Bupati Mandailing Natal, KPK juga memeriksa dua orang anggota DPRD setempat, yaitu AMR (Demokrat) dan MZ (Golkar). Keduanya juga bakal bertarung di Pemilu 2014 nanti.
Pada kasus korupsi Bantuan Sosial Provsu, lima Anggota DPRD Sumut juga ikut terseret. Mereka ditengarai ikut menerima "Fee" Bansos. Kelimanya adalah IMN (Gerindra), AJN (PPP), CH (Golkar) WP (PPRN) dan MA (PDIP).
Nama kelima politisi tersebut bahkan masuk BAP maupun pledoi terdakwa Bangun Oloan Harahap selaku mantan Kepala Biro Perekonomian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Nama caleg lain adalah EF yang kini menjabat sebagai Ketua DPRD Nias Selatan. Politisi Demokrat Nisel itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek pembangunan rumah dinas dan kantor bupati Nias Selatan, serta pembebasan tanah yang diduga fiktif.
Dengan menggunakan satu indikator ICW itu saja, tidak terbantahkan, jika Sumut kian berada dalam situasi paling memprihatinkan. Perilaku koruptif para pejabatnya, baik dari eksekutif maupun legislatif sudah sangat terencana, bahkan sebelum jabatan-jabatan itu ada yang mendudukinya. Sebelum, para wakil rakyat itu dipilih kembali dalam Pemilihan Umum 2014!
KOMENTAR ANDA