Patut dipertanyakan motif calon anggota Dewan yang tidak mau mempublikasi rekam jejaknya. Karena publik berhak tahu siapa yang akan mereka pilih dan seperti apa calon yang akan mewakili mereka di Parlemen.
"Jadi ini tentu disayangkan kalau ada calon anggota Dewan yang justru menutup akses publik terhadap rekam jejaknya. Mungkin publik jangan memilih orang yang tidak jelas, jangan memilih kucing dalam karung," ungkap Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq, Kamis (27/6/2013).
Menurutnya, KPU mestinya mewajibkan kepada para calon untuk mempublikasi riwayat hidup. Selain hak publik untuk mengakses informasi apalagi menyangkut calon yang akan mewakili mereka di parlemen, juga terkait transparansi.
"Bahkan sebenarnya di beberapa negara yang sudah maju, malah calon anggota Dewan sendiri membuat website masing-masing. Tentu selain promosi, juga agar publik tahu siapa dia dan apa yang dikerjakan. Jadi aneh kalau ada calon yang tidak mau mempublikasikan rekam jejaknya," sambung Fajar sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online.
Menurutnya, ada banyak kemungkinan kenapa para caleg itu menutup akses publik. Pertama, tidak percaya diri atas perjalanan hidupnya selama ini. Kedua, memiliki rekam jejak yang tidak baik sehingga harus ditutupi.
Karena itulah, sambung Fajar, data yang dipublikasi oleh calon yang bersedia juga harus diverifikasi lagi. Pasalnya, belum tentu juga data yang dipublikasikan itu valid.
"Bisa saja data yang dibuat tidak menyeluruh. Data negatif tidak dimunculkan. Jadi perlu ada tim independen memverifikasi profil-profil itu. Kan kalau fit and propper test para hakim misalnya, ada tim independen untuk mentracking. Di samping masukan dari masyarakat," ujarnya. [ans]
KOMENTAR ANDA