SAIMAN itu iri kepada anak-anak. Karena anak-anak telah mencuri mimpi-mimpinya. Lelaki yang tak pernah merasakan masa kanak-kanak itu dongkol setiap kali saudara atau teman-temannya datang berkunjung dengan membawa serta anak-anak mereka.
Saiman akan memelotokan mata kepada anak-anak itu dan terus memperlihatkan wajah yang tak bersahabat sepanjang kunjungan kerabatanya. Maka itulah, Saiman yang kini seorang penyair terkenal itu memilih untuk berkubang di dalam rumahnya, sambil beronani ria, merajut mimpi-mimpi yang bisa diraihnya dengan bait-bait puisi. Saiman tak kemana-mana, sebab kesunyiannya bakal terusik karena anak-anak selalu ada di setiap sudut di dunia.
Tapi pada suatu senja, ketika langit lembayung, lelaki itu memutuskan untuk memecahkan kesunyian di luar pertapaannya. Sembilan bulan ngendon di dalam rumah, nyaris membuatnya ragu dan mulai mempertanyakan tentang keberadaannya sebagai manusia. Maka untuk sesaat, Saiman berhenti menulis puisi yang selama ini menjadi sumber utama bahan bakar dapurnya.
Maka di sebuah caf�, tempat dimana dulu dia lama bekerja sebagai pelayan, Saiman duduk dan membakar rokoknya. Pikirannya melanglang buana. Ke barat, ke timur, turun ke selatan, naik ke utara. Tatapannya kosong fokus kepada entah. Satu jam dia habiskan waktu hanya untuk menghisap rokok dan menikmati pemandangan.
"Apa kubilang, kau keluar juga dari persembunyian," sapa Karto yang muncul entah dari mana.
"Pusing aku dengan puisiku,"
"Ah, sudahlah.. kita jangan bicarakan puisi-puisi terkutuk itu. Dengar, kita rayakan kebebasanmu setelah sembilan bulan bertapa di gua garba, kawan,"
Saiman melengos ke arah Karto. Sebenarnya dia terganggu dengan kehadiran temannya itu. Namun di saat seperti ini, dia mamang memerlukan teman berbincang.
Sembilan bulan belakangan Saiman sangat membutuhkan kesunyian. Setelah setengah usianya dia habiskan di caf� tempat dia menghabiskan waktu senja itu.
"Jadi, apalagi yang kau tunggu, cepat matikan rokokmu," kata Karto sambil menarik lengan Saiman.
"Mau kemana kita?"
"Suatu tempat!"
"???"
"Kau pasti suka, karena kutahu kau pasti merindukannya juga,"
Saiman melongo dan manut bak kerbau dicocok hidung. Baginya tak ada yang paling dirindukannya kecuali caf� itu. Oh, ya, hampir aku lupa. Sebenarnya lelaki itu pun merindukan hal lain. Dia rindu Fatimah. Perempuan yang dicintainya yang berprofesi sebagai guru taman knak-kanak. Hahaha. Betul, guru taman kanak-kanak.
***
"Kenapa kau tak suka anak-anak?" tanya Fatimah suatu ketika.
"Karena mereka anak-anak" jawab Saiman.
"Terus kenapa?"
"Karena mereka bebas berlarian ke sana kemari, mendapatkan apa yang mereka ingini dengan mudah dan mereka selalu menghabiskan waktunya untuk bergembira ria dengan temannya,"
"Aku salah menilaimu selama ini,"
"Sudah kubilang tak perlu menilaiku,"
"Kau..."
Saiman dan Fatimah pun berpisah si sudut jalan. Mereka berpisah tanpa pernah membicarakan perasaannya masing-masing.
***
Karto mengendarai motornya dengan laju. Lima belas menit berzig-zag di jalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah.
"Apa maksudmu, Karto? Kita ke rumah Fatimah?"
"Iya, dan kita sudah berada di sini," ujar Karto tersenyum lebar. Keduanya masuk ke ruang tamu.
Dan di tempat itu sudah duduk beberapa kerabat keluarga Fatimah, menyambut kedatangan Karto dan Saiman dengan senyum sumringah.
Malam itu, Karto yang duda beranak dua akhirnya resmi meminang Fatimah. Musnahlah mimpi Saiman. Semakin lengkap penyesalannya ketik dua bulan setelah itu perhelatan pesta pernikahan digelar besar-besaran.
Saiman benar-benar tak suka pada anak-anak. Hal itu menjadi-jadi tatkala pada suatu hari, Karto dan Fatimah datang berkunjung ke kediamannya dengan membawa tiga buah hati mereka. Seribu alasan diberikannya ketika dengan halus, Saiman menolak untuk menggendong bayi Karto dan Fatimah yang baru berusia dua bulan.
"Aku belum cukup terlatih untuk menggendong bayi. Aku takut akan terjadi apa-apa nanti," tolak Saiman.
Beberapa bulan setelah kunjungan Karto sekeluarga, Saiman memutuskan pindah rumah. Senyum kemenangan Karto selalu menghantui tidurnya. Tawa ceria anak-anak Karto pun ikut merebut semua inspirasi yang mendekat padanya. Saiman merasa dia akan mengakhiri karir kepenyairannya dalam usia belia bila berada di kota itu.
Bumi berputar waktu berkisar. Saiman terus dikejar-kejar mimpi buruknya di masa lalu.
"Aku tak mengerti soal keceriaan itu. Sama sekali. Yang aku tahu, suatu hari ayahku pulang dengan wajah lesu. Tiba-tiba dia naik pitam dan murka kepada seisi rumah. Dia berkata, Saiman.. mulai besok kau tak perlu sekolah. Kau tak akan mendapatkan apapun di tempat itu. Pergilah ke caf� Mas Marco, dan bekerja di sana!"
"Lantas?" tanyaku.
"Aku takut melihat dia murka. Aku pergi meninggalkan sekolahku, aku pergi meninggalkan teman-temanku. Aku pergi ke caf� Mas Marco. Dan seperti yang kau lihat sekarang, aku pergi menjemput takdirku," jawab dia dengan mata berkaca-kaca. Kulihat ujung matanya terus menerawang. Menerobos kisaran waktu dan mendobrak kegetiran.
"Jadi itu lebih pada soal dendam?"
Lelaki itu tak menjawab. Dia bangkit berdiri dan mengitari ruang tamunya yang luas dan berisikan perabot mewh, hasil penjualan mimpi-mimpinya. Seolah dia mau memamerkannya padaku.
"Rumah ini begitu besar, begitu angkuh. Apakah kau tak kesepian?" lanjutku bertanya.
"Sepi?"
"Iya. Sepi,"
"Aku suka sepi. Aku menikmati kesendirian ini," dia berhenti.
Kemudian membuang wajahnya ke deretan poto yang terpajang di dinding ruang tamu. �Coba kau lihat," ujar dia sambil menunjukkan sebuh foto keluarga yang dibungkus frame mewah.
"Itu sahabat terbaikku, Karto. Begitu bahagia dia dengan tiga anaknya," lanjut dia dengan senyum mengembang. Namun sejurus kemudian, dia kembali merengut. Seolah ada yang ingin disampaikannya, namun tak bisa diungkapkan.
Aku masih menunggu dia meneruskan ceritanya. Maka pelan-pelan kuhisap rokokku dan menghempaskan asapnya ke udara beku.
"Delapan bulan lalu," akhirnya di meneruskan ceritanya. "Karto tewas setelah mendapakan sebuah kecelakaan," aku tersedak mendengar derita dia.
"Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia sempat berpesan kepadaku untuk merawat anak-anaknya, membimbing anak-anaknya agar menjadi pekerja keras sepertiku." lanjut Saiman sambil meraih frame foto yang melekat di dinding dan dibingkai dengan luks itu. Matanya berkaca-kaca. Aku mengawasi setiap gerak geriknya dari tempat dudukku.
"Kau tahu, kawan," tanya dia.
"Aku tak pernah suka akan anak-anak. Aku membenci mereka karena aku tak pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Aku tak pernah pergi ke sekolah dan bemain dengan riang. Aku tak pernah menemukan bungkusan yang berisi mainan impianku. Ada yang hilang dari hidupku. Aku tak bisa menemukan waktu yang hilang itu. Namun Karto.." dia berhenti. Matanya menerawang, melintasi lorong-lorong penderitaan.
"Kepadamu, aku ceritkan kisah sesungguhnya," ujar dia masih dengan mata menerawang.
***
"Ajari aku untuk mengenal mereka," ujar Saiman beberapa bulan sebelumnya.
�Buat apa? Bila hanya ingin menjadikan aku istrimu, Kau tak akan bisa,� jawab Fatimah.
"Aku membenci diriku yang dulu. Aku membenci ketidakjujuranku. Aku membencinya Imah,"
"Mengapa kau tak pernah bilang perasaan itu padaku? Tahu kah kau aku pun menunggumu?"
"Aku tak bisa. Ketika itu aku tak suka dengan pekerjaanmu. Aku juga berpikir, kau pun tentunya tak menyukaiku karena aku tak suka pada anak-anak," ujar Saiman dengan wajah menyesal.
"Jadi, sekarang apa maumu? Aku janda teman baikmu. Aku ibu dari tiga anak dan.."
"Ajari aku untuk mencintai anak-anakmu,"
***
Lelaki itu masih berdiri mematung memandangi frame foto keluarga Karto.
"Lalu bagaimana akhir ceitamu, kawan?" tanyaku sambil bangkit dari dudukku lantas mendekati Saiman yang masih berdiri dengan dada dibusungkan.
"Aku bisa menerima kenyataan masa silamku. Aku memahami, setiap manusia memang dilahirkan tak sama. Sekarang aku sadar, ternyata banyak pelajaran yang kuambil dari masa-masa kecilku yang tak pernah ada," kata dia.
"Tapi kau kan suka keheningan, bagaimana nanti bila di rumahmu akan ada tiga atau sepuluh anak?" tanyaku sambil meraih frame foto yang ada di tangannya. Lelaki itu tersenyum, sambil perlahan beranjak meninggalkanku.
Astaga! Batinku. Aku mengingat persis lelaki yang ada di foto itu. Entah bagaimana perasaan Saiman seandainya aku ceritkan padanya peristiwa delapan bulan lalu yang menimpa kawan baiknya itu.
Binjai, 24 April 2010
KOMENTAR ANDA