Harga Minyak Turun Dua Hari Berturut-turut

Harga minyak turun untuk kedua hari berturut-turut pada Jumat (21/6/2013) atau Sabtu (22/6) WIB, di tengah kekhawatiran pasar tentang rencana Federal Reserve mengurangi stimulusnya dan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di China.

Kontrak utama New York, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) turun 1,45 dolar AS pada hari pertama perdagangan kontrak Agustus, ditutup pada 93,69 dolar AS per barel.

Minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Agustus melemah 1,24 dolar AS ditutup pada 100,91 dolar AS per barel di perdagangan London.

Kedua kontrak memperpanjang kerugian terbesar sejak November pada Kamis (19/6), karena pasar merosot sebagai reaksi terhadap pernyataan Ketua Federal Reserve Ben Bernanke yang pada Rabu mengisyaratkan bahwa Fed dapat mulai mengurangi stimulus pelonggaran kuantitatif (QE) pada akhir tahun.

Dalam dua hari terakhir, WTI, yang telah melonjak tinggi sejak awal Juni, jatuh lebih dari 4,50 dolar AS.

Pasar minyak dibuka, seperti pasar saham di Eropa dan Amerika Serikat, dalam sebuah "rebound" kecil dari penurunan pasar keuangan Kamis, tetapi itu segera memudar.

"Titik balik musim panas membawa ketidakpastian lebih besar di pasar. Karena Fed mulai eksodus besar dari QE, pasar harus bersiap-siap untuk pelepasan besar," kata Phil Flynn dari The Price Futures Group.

Dolar terus menguat, naik 0,7 persen terhadap euro, membuat minyak mentah yang dihargakan dalam dolar lebih mahal untuk pembeli yang menggunakan mata uang lemah.

Sementara media China pada Jumat (21/6/2013) melaporkan bahwa bank sentral telah menyuntikkan 40 miliar yuan (6,3 miliar dolar AS) ke beberapa bank untuk meringankan krisis pendanaan.

Di tempat lain dalam berita pasar minyak, perusahaan milik negara China CNPC menandatangani kesepakatan 270 miliar dolar AS dengan raksasa minyak Rusia Rosneft untuk memasok China dengan minyak selama 25 tahun.

Kesepakatan itu menggeser fokus Rusia menjauh dari Eropa, yang sedang terperosok ke dalam resesi, menuju Asia yang sedang berkembang pesat.

"Pasar Eropa stagnan, struktur permintaan sedang berubah sehingga sangat tidak menjanjikan pasar," kata Valery Nesterov, seorang analis di Sberbank CIB dikutip oleh AFP. [ant/hta]