post image
KOMENTAR
Ratusan pedagang buku pemilik lapak bekas Titi Gantung di kawasan Lapangan Merdeka Medan, Kamis (20/6/2013) siang, melakukan perlawanan saat Satpol PP akan membongkar kios mereka. Pemilik 180 kios bersikeras bahwa pembongkaran kios mereka cacat hukum.

Perlawanan yang mereka lakukan, untuk sementara berhasil memukul mundur seratusan petugas Satpol PP dan kepolisian. Yang mereka inginkan adalah, jaminan Pemko untuk tidak ada lagi penggusuran, saat pindah ke lapak yang baru di Jalan Pegadaian.

Yah, pedagangan buku bekas ini sebetulnya pindahan dari Titi Gantung, sebuah bangunan bersejarah yang terletak hanya 50 meter dari lokasi Pasar buku saat ini. Titi Gantung itu dibangun tahun 1885 oleh Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) bersamaan dengan stasiun kereta api Medan yang ada sekarang.

Dari catatan yang ada, Titi tersebut dibangun bagi pejalan kaki yang ingin melintasi Jalan Kereta Api (dulu ; Spoorstraat) ke Jalan Irian Barat (dulu ; Kwanteebiostraat) maupun sebaliknya.

Setelah dijadikannya kereta api sebagai transportasi darat untuk publik, maka perdagangan buku dan media cetak pun mulai berlangsung pada tahun 1940-an. Ketika itu, tak hanya buku yang dijual, tapi juga peralatan rumah tangga dan sebagainya.

Karena peminat buku dan media cetak cukup banyak, maka akhirnya yang berdagang pun semakin banyak. Sedangkan pedagang non bacaan memilih pindah ke tempat lain.
Seiring itu pula para pedagang yang semula terdiri beberapa kios, bertambah jadi puluhan kios. Bahkan menjamur hingga memenuhi sepanjang titi tersebut.

Namun medio Juli 2003 lalu Pemko Medan menata para pedagang dengan memindahkannya ke Pasar Buku yang berada di sisi timur Lapangan Merdeka Medan. Dengan alasan penataan Titi Gantung, Pemerintah Kota Medan menyediakan puluhan kios pengganti di sisi timur Lapangan Merdeka yang berjarak sekitar 50 meter dari lokasi semula, hanya berseberangan jalan saja.

Mulanya, Pemko Medan memindahkan lokasi perdagangan buku bekas tersebut karena Titi Gantung akan dijadikan sebagai sebuah lokasi tongkrongan malam yang baru.

Akan tetapi itu cuma kamuflase semata. Pasalnya, pusat jajanan tak jadi teralisasi. Titi gantung hanya dipoles sesaat agar tidak gulita pada malam harinya. Dan itu pun hanya untuk mendukung keberadaan pusat pertokoan dan rumah sakit moderen yang ada di seberangnya.

Dan penggusuran yang terjadi kali ini juga bermotif modernisasi pembangunan. Lokasi pedagang buku sekarang, akan dibangun skyway atau jembatan penyeberangan untuk para penumpang Kereta Api tujuan Medan Bandara Kualanamu. Keberadaan pedagang buku itu dinilai menghambat lajunya pembangunan skyway, yang tak lama lagi jatuh tempo.

Titi Gantung yang pada sebuah dekade pernah menjadi perpustakaannya warga Medan, surganya kaum intelektual, nasibnya kini terhimpit gaya hidup kota Metropolitan. Tak ada ruang untuk yang sesuatu yang usang, lawas dan bersejarah.

Pun nasib para pedagang buku Titi Gantung itu sendiri. Sulit mencari pedagang yang menjual buku-buku tentang orang terkenal semacam Soekarno, Pramoedya A Toer, Karl Marx, atau buku-buku masih berejaan lama, atau bahkan buku-buku berbahasa Belanda. Berganti pedagang buku pelajaran dan malah lebih parah menjual buku-buku bajakan hasil kong kalikong dengan para mafia penerbit.

Perubahan yang cukup drastis akibat pergeseran jaman yang tak berazaskan keilmuan dan pengetahuan. Visi idealis menuju pembangunan yang hanya berorientasi bisnis murni.

Saya ingat perkataan orang pintar: Kota tanpa buku adalah kota tanpa cermin. Sebuah kota semajemuk Medan, jika tak memiliki cermin refleksi atau cermin-cermin untuk melihat wajah kebudayaan atau wajah peradabannya maka, kota tersebut akan tumbuh sebagai kota yang narsis (over percaya diri), tampil ke depan dan mengatakan bahwa merekalah sebagai yang terbaik tanpa pernah mencermati wajah kemanusiaannya lebih mendalam.

Dan realita itu kian terpampang nyata. Kita hanya bisa menghitung hari, mirip dengan judul buku Arswendo Atmowiloto, buku yang pernah saya beli dekade 1990-an lalu, di Titi Gantung itu. [D]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini