post image
KOMENTAR
Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai sangat penting karena selama ini Indonesia belum memiliki satu modifikasi dan unifikasi (kumpulan dan penyatuan hukum pidana). Di sisi lain, delik-delik hukum pidana masih tersebar di mana-mana, sehingga perlu disatukan dengan berbagai perbaikan tindak pidana hukuman mati, penghargaan terhadap hukum adat, dan lain-lain yang lebih komprehensif.

"Penyatuan delik pidana inilah yang menjadikan Komisi III DPR RI optimis akan mampu menyelesaikan revisi KUHP sampai akhir masa sidang 2013. Tapi, yang harus disepakati adalah fondasi kerangka acuan revisi KUHP sendiri, karena dari kerangka itu akan diketahui mana delik yang menjadi prioritas," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Yani, dalam diskusi RUU KUHP di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (18/6/2013).

Terkait hukuman mati dalam revisi KUHP tersebut, politisi PPP ini menegaskan fraksinya sangat mendukung hukuman mati bagi pemerkosa, pengedar narkoba, teroris, pembunuh, dan koruptor. Anehnya dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) yang diajukan oleh pemerintah masih ada kesan penghalusan bahasa dalam hukuman mati tersebut, dengan menyebut sebagai pidana istimewa atau kekhususan tertentu.

"Penghalusan ini untuk mengakomodir kelompok-kelompok yang anti terhadap hukuman mati," tambah Yani.

Demikian pula dengan hukum adat, lanjut Yani, DPR RI sangat menghargai hukum adat yang sudah ada dan berkembang selama ini. Karena itu, DPR dan pemerintah tak boleh menghalangi-halangi hukum adat yang berlaku. Mengingat sumber hukum Indonesia ini ada tiga, yaitu perdata, agama, dan adat. Misalnya soal pernikahan.  

"Jika menurut agama, keyakinan dan adatnya pernikahan atau perkawinan antara lelaki dan perempuan itu sesuai aturan yang berlaku, maka KUHP ini tak boleh mengintervensi hukum yang sudah berlaku tersebut. Kita harus hargai hukum adat ini. KUHP tetap menghargai kearifan lokal, dan itu tak bisa ditempatkan dalam tindak pidana KUHP, sehingga materi ini masuk ke dalam unifikasi hukum," ujarnya.

Selain itu terkait pasal makar. Menurut Yani, menebarkan rasa kebencian dan penghinaan terhadap kepala negara asing harus dijelaskan maksudnya secara konkret dalam KUHP ini, agar tak mudah menjerat rakyat ini ke dalam kriminalisasi.

"Kalau begitu, kenapa penghinaan dan kebencian itu hanya kepada presiden? Tidak demikian dengan pejabat tinggi negara seperti DPR RI, karena sama-sama pejabat tinggi negara? Untuk itu, pasal makar ini harus dikaji secara mendalam," tambah Yani. [rmol/ht]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas