post image
KOMENTAR
Setidaknya dalam satu dekade terakhir publik Indonesia dan dunia mengalami demam Korea. Gelombang Korea atau Korean wave yang dalam bahasa Korea disebut hallyu diawali dari serangan sinetron Korea yang mengharu biru pada era 1990an hingga serbuan kelompok penyanyi Korea yang dikenal dengan K-Pop pada dekade belakangan ini.

Bagi Korea Selatan gelombang ini memiliki arti yang cukup besar baik secara politik maupun ekonomi.

Sentimen positif yang mengalir deras dari dunia internasional memperkuat posisi negara itu dalam berhadapan dengan tetangga sekaligus seterunya, Korea Utara. Sementara produk-produk elektronik Korea Selatan yang memang didukung kualitas yang baik mampu merajai pasar elektronik tidak hanya negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.

Di sisi lain, Korea Utara pun memahamidan memberikan perhatian terhadap fenomena hallyu ini.

Dalam perbincangan Kamis malam lalu (13/6) di Restoran Pyongyang di Jalan Gandaria I, Jakarta Selatan, Dutabesar Republik Demokratik Rakyat Korea atau Korea Utara, Ri Jong-ryul, sempat menyinggung sedikit persoalan Korean wave ini. Dubes Ri Jong-ryul tidak memperlihatkan kekhawatiran yang berlebihan sama sekali.

Menurutnya, Korean wave tersebut sedikit atau dapat dikatakan tidak merepresentasikan kebudayaan bangsa Choson. K-Pop, katanya, lebih merupakan ekspresi budaya Barat yang menggunakan dan memanfaatkan simbol-simbol Korea.

"Di Korea sendiri tidak ada demam K-Pop. Hanya di Indonesia dan di beberapa negara lain ini menjadi fenomena yang besar," ujarnya.

Dubes Ri Jong-ryul juga mengatakan bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan memperkenalkan dan mempromosikan "budaya populer" dari negaranya. Dia berharap budaya pop ala Korea Utara ini dapat menjadi semacam Korean wave pula dan dapat digunakan dalam diplomasi budaya.

"Nanti pada saatnya, kami berharap Perhimpunan Persahabatan di Indonesia dapat membantu kami memperkenalkan kebudayaan Korea yang orisinil ini," ujarnya.

Korea Utara bukan negara yang serba tertutup. Mereka cukup sering melakukan aktivitas pertukaran budaya dengan bangsa dan negara-negara lain di dunia. Setiap dua tahun sekali di bulan April bersamaan dengan Hari Matahari atau ulang tahun Kim Il-sung, Pyongyang selalu menggelar festival kebudayaan yang dihadiri oleh delegasi kebudayaan dari puluhan negara.

Bahkan New York Philharmonic, orkestra papan atas Amerika Serikat, pada 2008 lalu menggelar konser di Grand Theatre Pyongyang. Konser yang direstui Kim Jong-il itu dihadiri Wakil Presiden Presidium Majelis Agung Rakyat Yang Hyong-sop. Konser ini siarkan secara langsung oleh stasiun televisi nasional Korea Utara.

Dipimpin oleh Konduktor Lorin Maazel, New York Philharmonic antara lain melantunkan lagu kebangsaan Korea Utara, Aegukka, dan lagu kebangsaan Amerika Serikat, The Star-Spangled Banner. Komposisi lain yang mereka tampilkan adalah Prelude to Act III Lohengrin karya Richard Wagner, Symphony No. 9 From the New World karya Antonín Dvořák' dan An American in Paris karya George Gershwin.

Tahun lalu, bersamaan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Kim Il-sung festival budaya ini dilakukan secara besar-besaran. Kelompok orkestra dari Amerika Serikat juga diundang hadir dalam festival itu. [hta]

FOSAD Nilai Sejumlah Buku Kurikulum Sastra Tak pantas Dibaca Siswa Sekolah

Sebelumnya

Cagar Budaya Berupa Bangunan Jadi Andalan Pariwisata Kota Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Budaya