MBC. Tiga remaja Rohingnya, yakni IKH (16), MY (15) dan MH (16), diadili dalam sidang perdana penganiayaan yang mengakibatkan delapan nelayan Myanmar tewas di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (4/6/2013).
Sidang perdana ini pun, mengalami sempat terjadi kericuhan.
Kericuhan terjadi karena pihak Tim Pembela Muslim (TPM) tidak mengakui sejumlah pengacara yang mengaku sebagai penasihat hukum dari tiga remaja pengungsi Rohingnya yang terlibat penganiayaan di Rudenim Imigrasi Belawan pada 5 April lalu.
Untuk meredam kericuhan tersebut, Kapolsek Medan Baru Kompol Caljvin Simanjuntak meminta perwakilan pengacara dari TPM dan yang ditunjuk Polres Belawan mendampingi ketiga remaja Rohingnya itu, untuk masuk ke ruang sidang yang dipimpin majelis hakim diketuai Asban Panjaitan.
Setelah menunggu 10 menit, majelis hakim yang menyidangkan ketiga remaja Rohingnya dalam berkas terpisah tersebut, kemudian meneliti berkas penasihat hukum ketiga remaja. Setelah meneliti berkas tersebut, majelis hakim memutuskan yang berhak mendampingi ketiga terdakwa adalah dari TPM. Sebab, wali ketiga terdakwa di hadapan Ketua Majelis Hakim Asban Panjaitan dan Hiras mencabut kuasa dari Biro Bantuan Hukum Lembaga Pemberdayaan Marginal diwakili Barasakti dan Andy Rinaldi.
Sidang perdana tiga remaja Rohingnya tersebut, yakni IKH (16), MY (15) dan MH (16), juga dihadiri ratusan massa Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Umat Islam (LPI) Sumut .
Massa meminta ketiga terdakwa yang masih dibawah umur itu dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Sementara itu, ketiga terdakwa diadili dalam sidang tertutup untuk mendengarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Belawan.
Usai sidang, penasihat hukum para terdakwa mengatakan, ketiga terdakwa didakwa dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 338 KHUP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan jaksa yang diperoleh dari penasihat hukum terdakwa disebutkan, peristiwa berdarah di Rudenim pada 5 April 2013 lalu, sekira pukul 01.30 WIB, bermula saat terdakwa berada di lantai bawah bersama teman-temannya mendengar keributan di lantai II. Di sana, terdakwa melihat teman-temannya dari kelompok Rohingnya berkelahi dengan kelompok nelayan Myanmar.
Melihat perkelahian itu, para terdakwa pun bergabung dengan kelompoknya untuk menyerang kelompok nelayan tersebut. Dalam perkelahian itu, kelompok nelayan menggunakan pisau, kayu, obeng dan besi. Sedangkan kelompok terdakwa (Rohingnya) menggunakan kayu kelambot, tali sapu dan alat-alat lain yang ditemukan di lantai II Rudenim tersebut.
Akibat perkelahian dua kelompok warga Negara Myanmar tersebut, delapan nelayan tewas, yakni Aye, Win, Myo Oo, San Lwin, Aung Thu Win, Aung Than, Min Min, Win Tun dan Nawe dengan luka-luka sekujur tubuh akibat hantaman benda tumpul.
Saat terjadi perkelahian itu, terdakwa IKH ikut memukuli korban Min Min hingga meninggal dunia. Sementara terdakwa MY dan MH memukuli korban Nawe.
Tim Penasihat Hukum terdakwa dari TPM, Andre Mahyar membantah dakwaan jaksa tersebut. Dia mengatakan, saat peristiwa itu terjadi para terdakwa sedang tertidur.
"Anak-anak itu mengaku tidak terlibat bentrokan. Saat itu polisi menanyakan siapa yang sakit dan akan dibawa ke rumah sakit, mereka tunjuk tangan, ternyata dibawa ke Polres dan ditetapkan sebagai tersangka. Saat peristiwa itu terjadi, mereka sedang tertidur. Ada kriminalisasi kita lihat dalam kasus ini,"katanya.
Meski demikian, Andre mengatakan pihaknya tidak akan mengajukan keberatan atas dakwaan jaksa tersebut (eksepsi). "Kami tidak eksepsi, kami akan buktikan di persidangan nanti,"katanya. [rob]
KOMENTAR ANDA