post image
KOMENTAR
Di tengah derasnya kritik karena dianggap tidak melindungi kaum minoritas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap menerima penghargaan World Statesman Award (WSA) alias negarawan dunia dari Appeal of Conscience Foundation (ACF). Penghargaan diserahkan pendiri ACF yang adalah seorang pemimpin Yahudi, Rabbi Arthur Schneier di Garden Foyer di Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, Kamis (30/5) malam waktu setempat.

Dalam pidato penganugerahan, Presiden Yudhoyono menyampaikan berbagai kejadian tindak kekerasan seperti pembunuhan brutal terhadap seorang prajurit muda Inggris di London baru-baru ini semakin mempertegas adanya berbagai tantangan yang perlu dihadapi bersama.

Tantangan perdamaian, keadilan termasuk keadilan ekonomi, tantangan kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia, tantangan untuk mencapai hubungan antarperadaban yang harmonis, dan tantangan untuk mengentaskan kemiskinan global melalui pembangunan berkelanjutan.

"Sekalipun demikian, terdapat kabar baik yaitu adanya semangat globalisme baru di antara bangsa-bangsa dan masyarakat madani yang diharapkan akan dapat meningkatkan upaya internasional dalam menghadapi berbagai tantangan. Upaya-upaya global ini tidak akan mencatat kemajuan apabila para pemimpin lokal dan nasional tidak memainkan peranan mereka. Dan pada tingkat nasional dan lokal itulah, tantangan-tantangan ini dapat menjadi lebih rumit," kata SBY.

Yudhoyono mencontohkan Indonesia. Indonesia salah satu bangsa yang sangat majemuk kelompok etnisnya di dunia, merupakan tempat tinggal bagi seperempat miliar manusia yang menganut lima agama utama di dunia, dan tersebar di lebih dari 17,000 pulau.

Sejak hari pertama kemerdekaan, dikatakan dia, bangsa Indonesia memiliki aspirasi untuk menjadi bangsa yang bersatu di dalam perbedaan. Indonesia adalah satu bangsa dimana para warga negaranya yang terdiri dari berbagai suku, keyakinan dan nilai-nilai, hidup bersama dalam harmoni, satu bangsa yang dibangun atas ketentuan hukum, yang semua prinsip-prinsip utama ini tercantum di dalam konstitusi dan di dalam ideologi bernegara: Pancasila. Kemampuan bangsa hidup berdasarkan nilai-nilai luhur ini, akan menentukan tidak saja kemajuan, namun juga keberlanjutan kita sebagai satu bangsa.

"Hari ini, kami telah menempuh jalan yang panjang untuk mewujudkan visi tersebut. Namun demikian, pencapaiannya tidaklah mudah. Kami melakukannya dengan kerja keras, keberanian dan kegigihan," tuturnya.

Di awal transisi demokratis 15 tahun yang lalu, sambung dia, Indonesia mengalami krisis multidimensional; keruntuhan ekonomi. ketidakstabilan politik. kerusuhan sosial; separatisme; konflik komunal; kekerasan antar-etnis; terorisme. Situasi sedemikian parahnya sehingga Indonesia diprediksi akan menjadi Balkan yang baru, hancur berkeping-keping. Tetapi bangsa Indonesia dengan gigih menantang skenario kehancuran tersebut. Kami menyelesaikan permasalahan satu per satu.

"Kami menyelesaikan konflik separatisme di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun. Kami memperbaiki hubungan dengan Timor-Leste. Kami mengembalikan stabilitas politik. Kami memperkuat institusi-institusi demokrasi kami. Kami memberlakukan hukum untuk mengakhiri diskriminasi di Indonesia," ujar SBY sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online.

Di bidang ekonomi, lanjut dia, pulih dan menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan tercepat kedua di antara negara-negara anggota G-20 setelah Tiongkok. Masyarakat madani yang berkembang menjadi sandaran demokrasi. Indonesia pun kemudian sering disebut sebagai salah satu kisah transformasi yang paling berhasil di Abad ke-21.

"Dan kesuksesan demokrasi kami telah memberikan kemanfaatan yang strategis tidak hanya di kawasan kami. Alhamdulilah, kami mengalami banyak kemajuan yang menggembirakan. Sungguh pun demikian,  demokrasi kami tetap merupakan satu proses yang berkelanjutan. Kebangsaan kami terus menerus diuji. Menjaga perdamaian, tata tertib, dan harmoni adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan secara sambil lalu," katanya.

"Kami masih tetap menghadapi sejumlah tantangan. Kantung-kantung intoleransi tetap ada. Konflik  komunal terkadang masih mudah tersulut. Sensitivitas keagamaan kadangkala menimbulkan  perselisihan,  dimana  kelompok kelompok masyarakat mengambil tindakan  secara sepihak."  [ans]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa