MBC. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ternyata juga bingung dalam menafsirkan definisi pidana politik yang menjadi polemik dalam proses pendaftaran bakal calon legislatif (bacaleg) saat ini.
KPU terpaksa meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) soal kategori pidana politik.
"Kita masih meminta fatwa dari MA klasifikasi pidana politik seperti apa, minggu depan mudah-mudahan sudah muncul," kata Husni Kamil Manik, ketua KPU RI, di kantor KPU Sumut, Jumat (31/5/2013).
Husni kebingungan menjawab alasan mereka menerapkan aturan pidana politik tersebut dalam peraturan KPU Nomor 13 tahun 2013, yang mereka terbitkan. Sementara, mereka masih bingung dalam mendefinisikan pidana politik.
"Makanya kita minta fatwa dari MA selaku yang mengeluarkan aturan tersebut," ujarnya.
Sebelumnya pengamat hukum politik di Sumatera Utara, Adi Mansar mengkritik adanya kebimbangan KPU dalam menafsirkan definisi tahanan politik, berkaitan dengan polemik sebagian bacaleg eks narapidana.
"Fakta yang muncul dipersidangan itu bukan fakta yang ada hari ini,
sehingga tidak bisa lagi dikatakan tidak, karena sudah
inkrah, pidananya sudah selesai dia jalani. Ketika pidananya
sudah selesai dia jalani, bagaimana ia mau mengatakan dia merupakan tahanan politik sementara dia dihukum berdasarkan KUHPidana," jelasnya.
Status tahanan politik ini menjadi wacana yang dimunculkan sejumlah bacaleg eks narapidana untuk memuluskan pencalonan mereka. Sebab, tahanan politik masuk dalam kategori khusus yang tetap boleh mencalonkan diri menjadi bacaleg.
Polemik antara tahanan politik dan pidana ini bermula saat Sekretaris DPD Demokrat Sumatera Utara, Tahan Manahan Panggabean, menjadi salah satu bacaleg.
Diketahui, Tahan Manahan Panggabean merupakan mantan narapidana dalam kasus demo protap tahun 2008 lalu. Ia divonis 1 tahun penjara karena kasus pidana yang diancam hukuman diatas 5 tahun penjara.
Tahan Manahan seperti diberitakan, ngotot menyebutkan, kasus unjuk rasa tersebut sebagai peristiwa politik, sehingga tidak akan mengganjalnya untuk maju kembali sebagai bacaleg dari Partai Demokrat.
Adanya unjuk rasa yang berakhir pada bubarnya sidang paripurna waktu itu menjadi alasannya menyebut kasus tersebut murni sebagai peristiwa politik.
"Saya kan dituduhkan pasal 146 tentang membubarkan sidang, yang terjadi waktu itukan demonstrasi, jadi pasal 146 itu kasus politik, jadi saya dikecualikan dari undang-undang itu (undang-undang no 8 tahun 2012 tentang pemilu)," katanya.
Tahan Manahan berkeyakinan, meskipun dalam pasal 146 tersebut memiliki ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara, namun adanya pengecualian tersebut akan membuatnya lolos sebagai caleg. [rob]
KOMENTAR ANDA