Pengamat Anggaran, Elfanda Ananda prihatin dengan kondisi penyalahgunaan anggaran bantuan sosial senilai Rp1,2 Triliun tahun 2009-2012 di lingkungan Pemprovsu.
"Kita prihatin dengan kondisi ini, karena sistem pengucuran dana Bansos justru telah lari dari Permendagri Nomor 13 tahun 2006," ujar Elfenda Ananda kepada MedanBagus.com, Rabu (1/5/2013).
Menurut dia, dalam kasus korupsi bansos semua pihak yang terlibat harus dikenakan sanksi hukum tanpa terkecuali. Termasuk diantaranya lima anggota DPRD Sumut yang disebut-sebut ikut menikmati fee (uang jasa pengurusan) bansos yang saat ini juga telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK segera turun guna mengusut tuntas kasus tersebut. Anggaran dana Bansos yang jumlahnya cukup besar, cenderung menjadi alat politik dan menjadi alat untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Bansos yang berasal dari APBD Sumut yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, kata dia justru cenderung digunakan untuk kesejahteraan wakil rakyat.
"Selain itu organisasi tersebut juga tidak boleh terus-terusan mendapat jatah dana itu, setiap tahunnya," kata Elfenda.
Menurutnya, dalam PerMendagri tersebut telah diatur sistem penyaluran, serta lembaga maupun organisasi yang berhak menerima dana bantuan tersebut.
Dalam aturannya, kata Elfenda ada persyaratan organisasi yang berhak menerima kucuran dana Bansos, kemudian organisasi tersebut dipercaya untuk mendistribusikannya kepada masyarakat.
"Tetapi, dalam praktiknya, aturan-aturan tersebut cenderung diabaikan, bahkan pegucuran dana Bansos tidak benar-benar menerapkan regulasi yang ada," katanya lagi.
Elfanda menambahkan, aturan tidak tertulis yang memperbolehkan masing-masing anggota DPRD Sumut, mendapat jatah dana Bansos untuk dikucurkan ke daerah pemilihannya, justru membuka peluang penyalahgunaan anggaran tersebut.
"Jadi sumber persoalan, seperti permainan dan penyalahgunaan penyaluran dana Bansos berawal dari sini. Penyalurannya cenderung mengabaikan syarat-syarat yang telah ditetapkan, bahkan organisasi yang dipercaya untuk menyalurkannya juga tidak jelas" ujarnya.
"Diminta kepada aparat hukum agar dapat mengusut lembaga maupun organisasi yang pernah menerima aliran dana tersebut," tandasnya.
Sebelumnya, para anggota DPRD Sumut yang dituding turut menikmati aliran dana korupsi Bansos yang dicairkan dari proposal APBD 2011 telah dilaporkan ke KPK oleh Hamdani Harahap, penasihat hukum terdakwa kasus Bansos, Bangun Oloan Harahap (mantan Kepala Biro Perekonomian Pemprov Sumut).
Hamdani yang merupakan salah seorang dari empat advokat Biro Hukum Citra Keadilan Medan melaporkan dugaan keterlibatan lima anggota DPRD Sumut dalam korupsi Bansos 2009-2012 ke KPK, Senin (23/4/2013) lalu.
Dalam laporan bernomor 5681/CK-P/IV/2013, keempat advokat; Hamdani Harahap, Masita Hasibuan dan Hasonangan Harahap, menyebut sejumlah nama anggota DPRD Sumut, yakni IBN (Fraksi Partai Gerindra Bulan Bintang Reformasi), AJN (Fraksi PPP), CR (Fraksi Golkar), WP (Fraksi PPRN) dan MA (PDI Perjuangan), mendapat fee sebesar 43 persen hingga 60 persen. [rob]
KOMENTAR ANDA