Inisiator Tim Terpadu Riset Mandiri, Andi Arief, punya catatan buram mengenai reputasi para arkeolog pemerintah atau arkeolog plat merah yang didapatkannya dari dialog bersama Bapak Arkeologi Indonesia.
Andi Arief mengisahkan, suatu sore ia pernah kedatangan Profesor Mundardjito. Staf Khusus Presiden ini menceritakan, dalam kesempatan itu dia bertanya tentang penelitian Borobudur yang berjalan begitu lama dari sejak ditemukan pertama kali.
Menurut Mundardjito, arkeolog bekerja berdasarkan masukan para geolog yang terlibat juga di pemugaran. Namun, saat itu alat bantu geofisika tidak secanggih sekarang, tidak banyak alat dan yang mampu menggunakannya. Untuk melihat Borobudur sampai pada kedalaman tertentu, pemindaian dan coring (pengeboran) adalah langkah yang dilakukan untuk membentu percepatan pemugaran.
Andi Arief melanjutkan, bahkan saat itu Mundardjito mengatakan karena baru tahun 1960-an uji karbon untuk membantu mengetahui usia bangunan baru ditemuka, maka hampir semua temuan bangunan atau artefak luput dari pengujian umur usia, termasuk situs di Trowulan.
"Lalu saya kembali bertanya, apakah uji karbon itu bisa direkayasa? Jelas tidak bisa menurut bapak arkeologi itu. Karena uji karbon adalah ilmu pasti," ungkap mantan Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) ini.
Jadi, ada kesimpulan bahwa bila ada sayembara menemukan karbon berusia 25 ribu tahun, tak mungkin bisa ditemukan di sembarang tempat kecuali di bawah permukaan yang dulunya pernah ada kehidupan atau pernah terkena sinar matahari.
Menurut sang profesor, penyakit arkeolog lokal adalah malas mengeksplorasi dan lebih suka berbulan-bulan bekerja sama dengan peneliti asing. Cara pemindaian alat geofisika diikuti pengeboran serta uji karbon adalah metode scientifik yang selama ini dilakukan oleh ratusan arkeolog asing yang pernah didampingi oleh arkeolog plat merah kita.
"Tengoklah forum internasional, 90 persen kebudayaan kita risetnya milik asing. Saatnya untuk introspeksi," ujar Andi.
Pelarangan riset Tim Terpadu Riset Mandiri yang dilakukan melalui petisi oleh sejumlah ilmuwan merupakan catatan yang paling buram. Dalam petisi itu ada Kepala Arkenas, Bambang Sulistyono; Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi, Rovicky Dwi Putrohohari; dan geolog senior DR. Sudjatmiko, lalu Sutikno Bronto dari Badan Geologi.
"Sepanjang yang saya tahu, dosa terberat intelektual adalah ketika mereka bergabung lalu membentuk kediktatoran riset. Catatan buram ini tantangan yang harus dihadapi dan dicari jalan keluar. Bisa dimaafkan, namun sulit untuk dilupakan," tandasnya.
Jumat lalu (26/4/2013), berkumpul sejumlah ahli dari berbagai bidang ilmu, seperti arkeolog dan geolog gunung purba di Puslit Arkenas untuk membahas persoalan situs Gunung Padang.
Dialog yang melibatkan para ahli ini menyatakan, tidak ada landasan ilmiah yang kuat dalam penggalian situs purba Gunung Padang yang dilakukan Tim Terpadu Riset Mandiri di Gunung Padang. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA