MBC. Argumentasi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak cukup berdasar. Misalnya pemerintah menyatakan bila harga BBM tidak dinaikkan akan mengakibatkan defisit APBN sampai 3 persen atau lebih.
"Tentu saja, alasan ini kurang pas karena kalaupun terjadi defisit APBN masih ada ada soluasi yang lebih baik untuk rakyat dan negara yakni meningkatkan ratio kepatuhan wajib pajak (WP)," kata Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Twedy Noviady Ginting sesaat lalu Senin, (29/4/2013).
Berdasarkan data Ditjen Pajak Tahun 2012, Twedy mencatat, ratio kepatuhan WP pribadi sebesar 44 persen, yakni 8,8 juta orang dari 20 juta WP yang terdaftar. Sementara ratio kepatuhan WP badan usaha sebesar 27,36 persen yakni 520 ribu dari 1,9 juta badan usaha yang terdaftar sebaga WP. Perlu diketahui, pada 2012 ini penerimaan negara dari sektor pajak sebesar Rp 976 triliun atau 68,8 persen dari APBN 2012 sebesar Rp1.418,5 triliun.
Kata Twedy sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online, bila saja pemerintah benar-benar serius mengatasi defisit APBN maka pemerintah seharusnya meningkatkan ratio kepatuhan Wajib Pajak (WP). Dan bila hal tersebut dilakukan, apalagi bisa mencapai 100 persen, maka APBN pasti surplus karena penerimaan negara akan meningkat secara signifikan. Dengan demikian alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM karena besarnya subsidi BBM dapat mengakibatkan defisit APBN sebesar 3 persen atau lebih menjadi tidak rasional.
Selain itu, lanjut Twedy, pemerintah menjadikan tingginya konsumsi BBBM sebagai alasan untuk menaikkan harga BBM. Sementara salah satu penyebab tingginya konsumsi BBM adalah tidak terkendalinya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia.
"Hal tersebutlah yang menjadi masalah pokoknya. Untuk mengendalikan jumlah konsumsi BBM kendaraan bermotor, maka pemerintah seharusnya mengendalikan dan membatasi jumlah kendaraan bermotor Indonesia. Bukan dengan menaikkan harga BBM," tegas Twedy.
Alasan lain pemerintah menaikkan harga BBM karena menilai subsidi tidak tepat sasaran. Padahal, ungkap Twedy, UUD 1945 Pasal 33 menjamin adanya subsidi, dan subsidi merupakan kewajiban negara untuk rakyat. Bila pemerintah menyatakan subsidi tidak tepat sasaran, maka pemerintah seharusnya memperbaiki kinerja dalam pengawasan distribusi BBM.
"Jangan sampai karena kelalaian sendiri, pemerintah akhirnya mengambil jalan pintas menaikkan BBM," jelas Twedy, sambil mengatakan bahwa saat ini terjadi ketidakefisienan dalam pengelolaan energi. Pengelolaan energi Indonesia dikuasai mayoritas oleh asing, sementara Pertamina hanya memproduksi 13,8 persen dari total produksi minyak Indonesia. Di antara perusahaan asing yang menyandera kedaulatan energi itu adalah Chevron, Exxon Mobile, Total E&P Indonesia, Chonoco Philips dan CNOOC.
Twedy melanjutkan, bahwwa pemerintah juga belum membangun kilang-kilang minyak baru yang spesifikasinya sesuai dengan crude oil lifting Indonesia. Sehingga Indonesia menjual minyak mentah dan melakukan impor BBM. Bahkan, macetnya pembangunan depo-depo BBM Pertamina sejak 1998 hingga sekarang menyebabkan Indonesia tidak punya stok BBM yang memadai. Stok BBM hanya cukup untuk konsumsi 18 sampai dengan 22 hari.
Twedy pun mencurigai ada tekanan asing di balik rencana pemerintah ini. Seperti diketahui harga premium Rp 4.500 bukanlah harga kompetitif bagi SPBU-SPBU asing. Sehingga perusahaan asing yang telah mengantongi izin buka SPBU di seluruh Indonesia masih menunggu. Dan jika terjadi kenaikan harga BBM maka akan terjadi migrasi dari premium ke pertamax. Bila itu terjadi, Pertamina tidak mampu memenuhi kuota pertamax, dan inilah yang akan menjadi peluang bagi SPBU-SPBU asing.
"Rencana kenaikan harga BBM tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menyerahkan harga BBM ke pasar. Padahal. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU No 22/2001 tentang Migas yang menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar," tegas Twedy, yang juga mencurigai rencana kenaikan harga BBM tersebut sebenarnya tindak lanjut dari persetujuan pemerintah terhadap keputusan pertemuan puncak negara-negara APEC di Hawai pada November 2011 yakni penghapusan secara bertahan subsidi harga BBM. Dan pertemuan APEC berikutnya akan berlangsung Oktober mendatang di Bali.
"Dengan demikian, kami berpandangan bahwa pemerintah tidak cukup punya argumentasi menaikkan harga BBM. Untuk itu, Presidium GMNI secara tegas menolak kenaikan harga BBM," ujar Twedy. [ans]
KOMENTAR ANDA