TONGAT tetap nekat menembus hujan. Lima belas menit kemudian, dia sudah meluncur bersama deras hujan yang mengucur. Tubuhnya menggigil. Gemeretak giginya terdengar mengalahkan gelegar halilintar. Dia mesti tiba sebelum perempuan itu membatalkan niat untuk bertemu.
Pukul 20.16. Tongat masih di jalan. Sudah setengah jam molor dari kesepakatan. Apapun boleh terjadi. Apapun bisa berlaku dalam waktu sempit. Dan Tongat tak mau kehilangan kesempatan besar. Kesempatan yang sudah tujuh tahun dinantikannya. Kesempatan yang selalu diinginkannya, meski dalam mimpi sekalipun.
***
"Penipu! Dunia ini penuh dengan penipu!"
"Tidak juga, Bunga,"
"Apakah kau bisa kupercaya?"
"Bisa! Dan itu pasti. Aku tidak seperti dia,"
"Kau baru saja berdusta. Semua laki-laki sama. Nggak yang kecil nggak yang sudah mati, nggak yang ganteng, nggak yang jelek, semua... sama!"
"Aku di luar itu semua,"
"Mana bisa kupercaya, kau lelaki..."
"Ya tentu. Karena aku lelaki, maka aku tetap setia menunggumu selama tujuh tahun,"
"Benarkah?"
"Hm...."
Pukul 17.31 Bunga pun mengajak Tongat untuk bertemu di suatu tempat. Perempuan itu ingin mencurahkan kekesalan hatinya sekaligus mendengar pengakuan langsung dari mulut Tongat.
***
Delapan menit berlalu. Hujan masih turun. Tongat kian kuyub ketika tiba di cafe A, tempat dirinya dan Bunga berjanji untuk bertemu. Dari tempat duduknya, Bunga, mengawasi jendela. Dia melambaikan tangan ketika melihat Tongat muncul di teras.
"Aku basah kuyub!" teriak Tongat dari seberang jendela, tanpa suara.
"Masuk saja!" kata Bunga tanpa suara. Dia memberikan kode dengan tangannya. Dengan menyembunyikan malu terhadap semuanya, Tongat memutuskan masuk ke dalam dan duduk di hadapan Bunga.
"Hujan brengsek!" makinya ketika mendudukkan pantatnya di kursi. Sisa-sisa air yang membungkus tubuhnya menetes ke lantai. Tongat merasa risih menjadi tumpuan pandangan beberapa orang yang ada di sana. Bunga tersenyum kecut.
"Sorry, di luar rencana," kata Tongat masih tetap berusaha mengeringkan sisa-sisa air yang melekat.
"Sorry kau itu tak lantas membuatmu bersih. Pendusta.."
"Hei.. apa lagi ini? Aku sudah berusaha tepat waktu. Aku sudah buktikan kalau aku bukan dia. Aku berani menembus hujan ini. Dan basah. Dan itu demi janji kita. Mestinya itu cukup membuatmu percaya,"
"Tidak. Kau tetap saja pendusta,"
"Apapunlah, yang jelas, aku hanya menunjukkan padamu, bahwa aku ini benar-benar mencintaimu. Dan itu sudah tujuh tahun,"
"Oh... menembus hujan ini kau anggap jawaban dari soal ujian?”
“Tidak begitu, Bunga,”
“Lantas, apa? Kau yakin kalau aku percaya dengan cintamu yang berkarat itu?"
"Aku... aku benar-benar mencintaimu. Aku bisa jamin, cintaku berbeda dari dia,"
"Jaminanmu itu semakin membuatku ragu,"
"Iya, kau memang mesti ragu. Untuk itulah aku akan membuktikannya, sekali lagi, atau berkali-lagi. Atau terserahmu saja. Jangankan menembus hujan ini, menembus hujan peluru pun aku rela, agar kau percaya," rayu Tongat dengan wajah kuyu menahan gigil kuyub.
Di luar hujan terus menderai. Jatuh bak mitraliyur yang ditembakkan menembus kulit bumi. Tongat mengedarkan mata. Dia masih tak percaya dengan keberaniannya yang akhirnya tiba pada saat yang tak tepat. Dia sungguh-sungguh menanti kesempatan untuk mengutarakan cintanya pada Bunga. Dan itu sudah tujuh tahun! Dan selama rentang waktu itu, apapun bisa terjadi. Termasuk cinta yang terbagi. Benarlah Tongat cinta mati pada bunga. Benarlah bahwa Bunga adalah satu-satunya mimpi yang harus dibelinya. Tapi ini sudah tujuh tahun. Berkarat! Dan sudah dua tahun belakangan dia membagi kasih dengan Juwita, dara lulusan SMEA yang sudah bersumpah serapah, bahwa Tongat lah yang layak menjadi bapak bagi anak-anaknya kelak.
Dunia memang tak adil! Tak adil memang dunia! Dan hingga pertemuan dengan Bunga, Tongat pun masih menyimpan cinta pada Juwita!
"Dan selama tujuh tahun itu, apa yang kau perbuat? Bermimpi agar kau bisa menjadi pendampingku?" Bunga menginterogasi. Tongat mengangguk. Tapi anggukan itu berat sekali.
Dia teringat pada cinta yang besar milik Juwita. Dia merasa bersalah telah datang untuk mendengar keluhan Bunga dan memperdengarkan pengakuan cintanya.
"Harus bagaimana aku mengatakannya, bahwa semua itu benar. Aku tak bisa lagi meyakinkanmu. Dan memang tak ada alasan pula bagimu untuk percaya pada cintaku itu. Sudahlah," Tongat menyerah. Ditundukkannya wajahnya. Tongat menghitung air yang jauh menetes ke ubin. Pikirannya hanyut pada genangan cinta Juwita.
"Mengapa menunduk? Tantang aku. Lihat mataku," perintah Bunga sambil mengepulkan asap rokok ke udara. Tongat bergeming. Dia terus menghitung lelehan tetes air.
"Tongat.. ayo, lihat aku..." Tapi Tongat malah menggelengkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca.
"Kau memang bukan laki-laki!"
"Terserah..."
"Kau..."
"Apapunlah..."
Bunga menatap tajam lelaki di hadapannya. Tongat, lelaki itu adalah teman akrabnya. Bunga selalu bercerita pada lelaki itu tentang lelaki yang singgah di hatinya. Tapi Bunga memang tak pernah mendengar Tongat berbicara tentang perempuan yang ada di hatinya. Dunia itu egois. Selain tak adil, dunia juga egois. Bunga mahfum. Dia menyadari keegoisannya selama tujuh tahun ini. Sepanjang mengenal, dia memang tak pernah mau tahu apa yang sedang dirasakan Tongat. Tak pernah terlintas di kepalanya barang sepenggal mengenai perasaan Tongat kepadanya yang terpenggal-penggal. Siapa yang pernah menyangka?
"Kau memang bukan lelaki..."desak Bunga menahan sesak. Tongat menggeleng. Dilemparnya tatapannya mengedar ke seluruh isi ruangan.
"Pengecut. Tujuh tahun, dan..."
"Sudahlah. Tak perlu lagi dibicarakan. Aku memang bukan lelaki," ujar Tongat menyerah. Dia lunglai. Kepalanya terguncang keras. Bunga dan Juwita muncul menghantam isi kepalanya yang menyerah pada kenyataan.
Bunga menarik nafasnya. Sejurus kemudian. Dia mematikan rokoknya di asbak.
"Karena kau bukan lelaki, maka aku suka padamu," kata Bunga menahan senyum. Puas hatinya telah membuat Tongat mati kehabisan udara.
"Sorry.." Tongat mengangkat kepala. Memasang tajam telinga.
"Hello... jangan buat aku mengulanginya. Aku bilang, aku terima cintamu yang berkarat itu..." ujar Bunga tertawa. Barisan gigi yang rapi mengintip dari celah bibirnya.
"Bisa?" tanya Tongat tak percaya.
"Kita lihat saja,"
"Tapi..."
"Taruhannya besar. Sekali keliru, kita akan kehilangan segalanya, cinta dan pertemanan. Tapi its okey. Aku bersedia menerima tantanganmu," ujar Bunga.
Di luar cafe, hujan belum berhenti mengguyur. Jalanan kian tergenang air. Harapan dan kenangan mengalir bersamaan. Tongat tak bisa melepas cinta Juwita. Tapi dia sungguh-sungguh berharap membagi cintanya pada Bunga.
Dunia tak adil. Egois dan banyak maunya. Sekarang Tongat berharap keras hujan lekas berlalu. Dalam pikirannya, dia harus menemui Juwita.
~Fin~
KOMENTAR ANDA